Pages

Wednesday, January 28, 2015

coretan sejarah masuk SBMPTN



Kuliah merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk menggapai cita-citanya, yup.. itu adalah sarana yang saya gunakan dalam menggapai impianku, ternyata allah mendengar apa yang saya inginkan, kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di semarang, Universitas Negeri Semarang biasa disebut dengan Unnes, dengan tanpa biaya sepeserpun, mulai dari biaya kuliah dan biaya hidup sehari-hari, alasan saya tidak dikenakan biaya oleh pihak kampus karena adanya progam pemerintah untuk memutus rantai kemiskinan dengan mengadakan Beasiswa Bidikmisi yang di tujukan untuk seseorang yang berpotensi akademik dan tidak memiliki biaya untuk melanjutkan studi.
Sebenarnya saya bukanlah orang yang pintar, orang yang istimewa, saya hanya seorang santri yang berasal dari keluaga kurang mampu. Dari lima bersaudara, hanya saya yang mendapatkan kesempatan tersebut. Waktu masih menuntut ilmu di MA Al anwar, saya termasuk orang yang pas-pasan, nilai rapor dan nilai harian yang selalu Pancet ae, matematika dari kelas satu sampai kelas tiga selalu medapat nilai 5.5, begitu juga dengan yang lainnya,saya lebih bangga mendapatkan nilai segitu karena usaha sendiri, di banding nilai 100 tapi dari hasil kompromi bahkan pembajakan terhadap jawaban kawan yang lain. Begitu halnya dengan peringkat, waktu masih kelas tiga semester genap, peringkat bukannya naik tapi justru menurun drastis menjadi 15, jika peringkat saya dibuat pararel maka akan masuk dalam peringkat 70 an. Namun hal itu tidak membuatku surut dalam menggapai keinginanku untuk melanjutkan studi setelah MA, alasan yang mendasari saya tidak surut adalah perkataan Ustad Imam Ahmad tentang pertanyaan, yang kala itu masih menjadi lurah pondok, ketika itu saya bertanya “pak kulo mpun ten mriki 2 tahun tapi kok dereng paham paham pelajaran dan kitab? Niku pripun pak?” beliau menjawab “ sampyan nggak usah iri dengan temanmu yang sudah pandai, bisa jadi kepandaian mereka adalah ujian untuknya, belum tentu ketika dia pandai di pondok, dia akan berguna setelah keluar dari pondok, begitu juga sebaliknya”. Jawaban yang sangat sederhana tersebut telah membuat saya sadar, bahwa “Kekurangan bukanlah penghalang tuk meraih impian”.
Kala itu saya masih ingat, kawan-kawanku menjadi agak putus asa dan pesimis untuk melanjutkan studi di PTN, pasalnya tidak ada satu pun siswa yang di lolos SNMPTN, kekecewaan tidak hanya dirasakan oleh kawan kawan tetapi juga dirasakan oleh pak andhika sebagai bagian kesiswaaan,  salah satu teman saya yang membuat kawan kawan yang lain juga merasa drop, orang yang berkata tersebut termasuk orang yang masuk dalam lima besar di kelas IPA, dia berkata “wahh.. aku moh daftar maneh, SNMPTN yang tanpa tes aja gagal, apalagi dengan tes? Jelas gagale”. Namun perkataan itu tak membuat saya menyerah. Akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar lagi lewat jalur SBMPTN, dan pendaftaran yang saya lakukan tanpa sepengatuhan orang tua saya, masalahnya adalah, ketika kemarin saya mengikuti SNMPTN, banyak tetangga yang menertawakan, bahkan dari pihak keluarga besar juga, “kangge mangan ae angel, kok meh nguliahke, emange due duet ko ndi? Mondokno anak ae iseh utang utang”. Saya berharap ketika saya lolos SBMPTN dapat menjadi kado terindah untuk orang tua saya, bahwa “kekurangan bukanlah penghalang tuk meraih impian”.

Ujian nasional telah usai, dan masih ada waktu untuk menunggu test SBMPTN, kesempatan tersebut tidak saya sia-sia kan, saya gunakan untuk khikmah semaksimal mungkin kepada pondok, karena saya sadar bahwa selama tiga tahun menyerap ilmu di MA ini khidmah yang saya lakukan sangat jauh dari harapan, dengan niat yang tulus. Ketika itu saya berniat “khidmah yang saya lakukan adalah untuk mendapat keridoan dari syaikhina dan asatidz, serta sebagai wasilah supaya lolos SBMPTN dan mendapatkan beasiswa” dan saya masih ingat salah satu perkataan guru saya, kalau tidak salah adalah ustadz Irvan, “ketika kamu menginginkan keinginanmu terkabul, Nadarilah”, nadar yang ku ucapkan adalah “ saya tidak akan pacaran sampai lulus, jika saya di terima di PTN”, karena saya sadar, kesalahan fatal yang saya lakukan di MA adalah melakukan surat-suratan dengan anak agama B, namanya Afifah, sehingga mendapatkan hukuman meminta maaf dan mengakui kesalahan di semua kelas, baik putri maupun putra.

No comments:

Post a Comment