AKU masih suka meniup
seruling bambu dan bermain dengan sapi-sapi ketika Ayah menyuruhku menebas
leher Ibu dengan pedang. Mulut Ayah berbuih-buih menderaskan makian dan kutukan
pada Ibu yang kata Ayah telah berzina dengan seorang ksatria tampan. Dia terus
mengutuk dan menyuruhku bersigegas mematuhi perintahnya. Sebelum kalimat api
Ayah selesai, kepala Ibu telah menggelinding ke tanah. Kedua mata di kepala Ibu
memandangku dengan pendar memelas. Bibirnya mengerucut biru. Di tanganku
sebilah pedang tajam-bengis berlumuran darah dan ketika itu kulihat mata
nyalang Ayah penuh kebanggaan.
“Mainkan busurmu, Putra Pemanah!”
Kuambil busurku dan kupasang anak panah. Kutaruh kepala Ibu di sebuah
tonggak kayu. Detik berikutnya kubidik mata kiri Ibu. Sebuah anak panah sakti
pemberian Jamadagni, ayahku itu, melesat, menancap di mata kiri Ibu, melesat
terus, membawa kepala Ibu terbang hingga mataku pun tidak lagi melihatnya.
Itulah kali pertama aku merasa piawai memainkan busur dan anak panah.
Ayah tertawa keras-keras. Gigi-giginya yang hitam penuh noda tembakau,
daun sirih, bongkahan gambir dan padas pulasari terbuka jelek. Tangan Ayah
menunjuk dua ekor anak kambing bercongek di dekat tubuh tanpa kepala milik Ibu.
Itu dua kakak lelakiku. Ayah yang sakti telah mengubah mereka menjadi kambing
atas kepengecutan mereka tak mampu memenggal leher Ibu yang dengan penuh
khianat merelakan rahim brahmananya direndami cairan mani seorang ksatria. Ayah
lalu menghela kedua ternak malang itu menjauh. Aku melihat mata kambing-kambing
itu menyala sebelum mereka pergi.
Sejak itu pula, kuinjak-injak seruling bambuku dan kubiarkan sapi-sapi
yang telah menjadi kawanku sekian lama kini berkeliaran tanpa diriku. Sejak itu
aku lebih suka menyandang busurku di bahu kiri dan membelahi bambu-bambu
wulung, merautinya sebagai anak-anak panah. Bertahun-tahun, sebelum Ayah mati
tua, dia mengajari aku berbagai cara memanah dengan sempurna. Dia sering
menggambar dua wajah dengan sepotong kapur di batang-batang pisang sebagai
sasaran anak panahku. Dia bilang itulah wajah Ibu dan ksatria itu.
“Bidiklah tepat di antara dua mata pada kepala-kepala laknat itu!”
begitu perintahnya setiap kali aku mulai memanah.
Hingga Ayah mati, tak terbilang jumlahnya aku telah menancapkan
anak-anak panah buatanku, tepat di antara dua mata pada wajah yang digambar
Ayah dengan benci. Sebelum mati, Ayah kembali memberiku sebuah nama.
Parasurama. Nama itu kusandang ketika aku mulai pergi dari rumahku dan mengembara
memburu para ksatria. Dan lelaki tua yang tak lagi pernah tersenyum sejak
kutebas leher Ibu memberiku testamen sebelum rohnya tersebrat: “Burulah para
ksatria! Merekalah perusak darah brahmana kita!”
.
BERABAD-ABAD berlalu sejak aku
pergi dari rumahku, dari sapi-sapiku. Mengembara di hutan-hutan dan kota-kota.
Menyandang selongsong yang selalu penuh anak panah, dan busur yang selalu
terentang dengan sebuah anak panah terpasang. Memburu para ksatria.
Tak terbilang jumlah anak panahku yang telah menancapi kepala para
ksatria yang kujumpai di jalan. Tepat di antara dua mata mereka. Selalu, kepala
mereka tiba-tiba saja telah tertancap anak panahku, bahkan sebelum mereka
sekadar memberiku salam atau minta ampun.
Orang di delapan penjuru angin telah mengenal namaku. Parasurama!
Pemanah tanpa tandingan, pemanah yang selalu melesakkan ujung panah tepat di
antara dua mata sang korban.
Kalau aku muncul di ujung sebuah perkampungan, para penduduk akan
menyambutku penuh takzim dan berebutan menawariku singgah. Aku lebih sering
tidak menggubris mereka. Aku akan terus berjalan ke pusat-pusat kota, mencari
para ksatria, menggeledahi rumah-rumah yang menurut penciumanku menyembunyikan
ksatria. (Oh ya, hidungku bertambah peka sehingga dalam jarak satu mil pun aku mampu
mencium keberadaan para ksatria. Tapi, sampai sekarang pun, aku belum tahu apa
kata yang tepat untuk menyebut bau darah yang mengalir di tubuh mereka. Pasti
tak sewangi darah brahmanaku.) Ya, aku akan menggeledahi setiap rumah yang
menurut hidungku menyembunyikan mereka. (Mereka sendiri seperti tikus-tikus
malang yang akan berlari atau bersembunyi ke lubang-lubang sempit kalau mereka
mendengar orang-orang mengelu-elukan kedatanganku.) Nah, begitu kutemukan
mereka, anak panahku berlesatan. Tak seorang ksatria pun luput dari anak
panahku. Panah itu melesat bagi kilatan cahaya dan menancap di kepala mereka.
Tepat di antara dua mata. Aku tidak peduli apakah mereka kakek renta, nenek
jompo, pemuda gagah, gadis molek, bayi mungil. Begitu hidungku mencium ada darah
ksatria mengalir di dalam tubuh seseorang, anak panahkulah yang berbicara.
Orang di delapan penjuru angin telah mengenal namaku. Parasurama!
Pemanah tanpa tandingan, pemanah yang selalu melesatkan dan melesakkan ujung
panah tepat di antara dua mata sang korban.
Lebih-lebih para pemburu-penjilat itu. Mereka memburuku, dan dengan
takut-takut menyembah-nyembah aku sebagai dewa. Bagi mereka, aku adalah Batara
Parasu. Mereka memburuku di hutan-hutan. Dan setiap kali berjumpa denganku,
serentak mereka menyungsepkan dahi ke tanah, menghaturkan sembah ke kakiku. Aku
akan beringsut menjauh sambil melepaskan sebuah anak panah ke udara hingga
karena takut akan kemarahanku, dahi mereka seperti sangat lekat pada tanah.
Kalau kebetulan aku tengah tidur di dedahanan pohon, mereka bersimpuh di bawah
pohon itu dalam diam menanti Sang Dewa Pemanah ini bangun. Sering sekali di
antara rombongan pemburu itu ada yang memiliki darah ksatria. Orang seperti dia
berpikir akan mampu mengelabui aku dengan menyamar sebagai pemburu yang
memujaku.
Tidak, tidak akan pernah bisa! Telah berabad-abad lamanya aku memburu
para ksatria. Hidungku sudah begitu tajam hingga dengan sekali mendengus saja
aku akan tahu manakah orang yang teraliri darah ksatria.
Menjumpai orang yang berusaha mengelabuiku, biasanya aku akan
mengajaknya bersenda-gurau sebentar. Aku ingin memberinya sedikit hiburan
supaya dia benar-benar puas karena berpikir aku telah bisa dikibulinya. Dan
pada saat dia tertawa oleh gurauanku, biasanya deraian tawa yang dibuat-buat, ujung
panahku dalam sekejap kilat telah menancap di kepalanya, tepat di antara dua
mata. Bahkan dia tak pernah tahu kapan aku menarik tali busur dan melesatkan
senjata yang mengirimnya pada Batara Yamadipati, sang pencabut nyawa. Saat dia
terkapar, aku akan menggeram pada pemburu lainnya untuk segera membuang
jauh-jauh mayat ksatria malang itu. “Jauhkan dariku ksatria sialan ini! Aku tak
ingin melihat darah nistanya di depan mataku. Umpankan bangkainya jadi santapan
anjing hutan!”
Parasurama namaku!
Saat-saat seorang diri di tengah kesunyian hutan, aku selalu berkata
pada diriku sendiri, “Tidak, Bargawa! Kamu bukan makhluk keji. Kamu hanya ingin
menuntaskan dendammu, dendam darah brahmana yang mengalir di urat tubuhmu.”
Tapi, aku akui, aku bukan pula orang yang berbahagia. Aku sering merasa
kesepian. Aku rindukan suara seruling yang dulu sering kutiup seorang diri di
tepi ladang bersama sapi-sapiku. Aku rindukan suasana padepokan bersama kedua
kakakku (kambing jelmaan mereka entah ada di mana kini). Aku rindukan padepokan
yang damai, penuh canda. Aku rindu saat-saat Ayah melabrakku karena kemalasanku
membaca pupuh di rontal, lalu Ibu datang mengusap-usap rambutku.
Ya! Parasurama ini sebenarnya hanya Bargawa, si bungsu dari sebuah
dusun di tepi hutan, anak Jamadagni. Anak yang telah dengan jantan memenggal
kepala ibunya sendiri. Jantan? Ah, pada kenyataannya aku hanya Bargawa, si anak
kecil yang merindukan buah dada ibunya. Saat-saat seperti itu, aku sangat ingin
menghapus nama Parasurama yang begitu bengis dengan panahnya. Ya, aku hanya
Bargawa dan mengakui: aku sering rindu pada Ibu. Ibuku, sebelum kedatangan
ksatria keparat itu. Ibu yang menuntunku mengeja gurat demi gurat aksara di
rontal.
Kalau sudah begitu, aku menangis tanpa air mata tanpa bunyi. Lalu aku
mengejek diriku sendiri, “Lihat, Si Parasurama yang dipuja bagai dewa! Lihat si
Pemanah yang tepat membidik titik di antara dua mata itu! Nyatanya dia tak
lebih dari seorang anak kecil yang meraba-raba dada ibunya untuk menyusu.”
Pada puncak dari tangis tanpa air mata tanpa suara itu, aku memasang
sebuah anak panah pada busur dan melesatkannya ke udara. Bersamaan dengan
lesatan anak panah, selalu, entah iblis mana yang membuat darahku kembali
terbakar dendam. Aku lupa kesepianku dan bersicepat meninggalkan hutan untuk
pergi ke perkampungan, ke kota, ke mana saja. Memburu para ksatria.
.
SUATU hari, tepat di
saat aku tengah menarik tali busur pada puncak tangisanku yang tak berair mata
dan tak bersuara, seorang perempuan meneriakkan nama, “Bargawa!” Aku urung melesatkan
anak panah. Kutatap perempuan itu dengan buncahan badai kemarahan. Perempuan
itu telah dengan kurang ajar memanggil nama lamaku. Selama perburuan para
ksatria, tak pernah ada yang tahu nama sebelum Ayah memberiku nama Parasurama
itu. Lebih-lebih lagi, selama ini tak pernah ada orang yang berani mengganggu
apa yang sedang kulakukan.
Aku menatap matanya dengan tatapan mirip ujung anak panahku saat
membidik kepala para ksatria, tepat di antara dua mata. Tapi aku terkesiap.
Wajah itu, mata itu, suara itu, ah sepertinya aku telah sangat mengenalnya.
Ibu. Ibu. Ibu. Ah, setan! Ibuku telah kupenggal kepalanya dan kini menghuni
neraka bersama ksatria keparat itu. Tidak, tidak!
Tanpa dosa perempuan itu malah tersenyum padaku. Iblis! Itu senyum Ibu.
Dan seperti mengacuhkan aku, dia sibuk memetiki dedaunan dan mengumpulkannya
pada sebuah keranjang. Aku memasang anak panah pada busur. Biar kulesatkan saja
dan mengirim perempuan sialan itu ke neraka.
Sejenak aku tertegun dan, serupa anjing pelacak, kubaui darahnya. Siapa
tahu dia berdarah ksatria sehingga aku tak perlu berlarut-larut dengan wajah
itu, senyum itu. Jagad Dewa Batara! Kenapa tiba-tiba hidungku kehilangan cara
mengendus?
Perempuan itu berlalu serupa angin. Aku memburunya, masih dengan busur
dan sebuah anak panah yang terpasang. Aku merasakan sesuatu yang lain dalam
diriku. Amarah yang memuncak bersipongang dengan perasaan takut. Aku
mengutuk-ngutuk diriku sambil terus berlari memburunya. Ada apa dengan si
Parasurama ini?
Perempuan itu masuk ke sebuah gubuk. Tapi aku tertegun di depan pintu
yang terbuka. Di dalam gubuk, seorang lelaki tua terbaring dan perempuan yang
kuburu itu tengah menumbuk dedaunan yang ia ambil dari keranjangnya. Aku
lunglai di depan pintu sebelum perempuan itu memintaku masuk, masih dengan
menyebut nama Bargawa.
.
BEGITULAH, sejak itu aku
melupakan busur dan kepiawaianku memanah. Aku juga melupakan pengembaraanku
berabad-abad. Dari rahim perempuan itu telah lahir seorang anak lelaki dari
benih yang kusemaikan. Dan aku telah menanggalkan nama Parasurama.
Panggil aku Bargawa, si anak ibu. Si anak kecil yang rindu akan air
susu Ibu. Ibu yang wajahnya melapisi muka perempuan yang telah melahirkan
anakku, si Bargawa kecil.
Hingga suatu hari, suatu percakapan membuatku terjaga dari tidur.
Bulu-kudukku meremang oleh amarah mendengar percakapan perempuan yang telah
melahirkan Bargawa kecil itu dengan ayahnya. Percakapan yang akhirnya membuka
kedok: selama ini perempuan yang kutiduri dan telah memberiku seorang anak itu
berdarah ksatria. Dan lelaki tua itu adalah seorang raja yang diambil tahtanya
oleh adiknya sendiri dan kini anakku akan dibawa ke ibu kota kerajaan.
Percakapan yang membuatku menjadi orang paling dungu, orang yang begitu saja
bertekuk-lutut hanya karena sebuah wajah dan senyuman. Wajah dan senyuman Ibu.
Iblis! Parasurama yang beringas ini ternyata juga lelap dalam tipu daya daging
tubuh perempuan ksatria itu.
“Pamanmu tak berketurunan. Siapa tahu dia mau menerima anakmu untuk
menggantikannya,” begitu kalimat terakhir ksatria tua itu.
Kalimat itu bagai mantra sakti yang membuatku bangkit dari tempat
tidur. Dalam satu gerakan kutemukan busur dan anak panah yang kusimpan selama
ini. Mendadak pula hidungku kembali mampu mengendusi darah ksatria dalam tubuh
mereka. Maka, sebelum ayah-anak ksatria itu tertegun melihatku mendadak
terbangun, dua buah anak panah telah menembusi wajah mereka, tepat di antara
dua mata. Tak ada teriakan. Sebelum tubuh keduanya terjerembab ke tanah, satu
anak panah lagi telah melesak di antara dua mata Bargawa kecil yang tengah
tidur.
Kalap aku keluar rumah laknat itu dan dengan kutuk pastu Jamadagni,
beribu-ribu anak panah kulesatkan ke udara. Ribuan anak panah yang melesat ke
angkasa itu menjadi tengara: Parasurama telah kembali dengan amarah yang lebih
besar. Ya, Si Bengis Pemanah yang tepat membidik titik di antara dua mata telah
kembali menyandang busur sebelum nantinya seorang titisan Wisnu datang
menatapkan mata beningnya untuk melampuskan nyawaku. (*)
.
.
Saroni Asikin tinggal dan bekerja di Semarang.
.
No comments:
Post a Comment