Kuliah merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk menggapai cita-citanya, yup.. itu adalah sarana yang saya gunakan dalam menggapai impianku, ternyata allah mendengar apa yang saya inginkan, kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di semarang, Universitas Negeri Semarang biasa disebut dengan Unnes, dengan tanpa biaya sepeserpun, mulai dari biaya kuliah dan biaya hidup sehari-hari, alasan saya tidak dikenakan biaya oleh pihak kampus karena adanya progam pemerintah untuk memutus rantai kemiskinan dengan mengadakan Beasiswa Bidikmisi yang di tujukan untuk seseorang yang berpotensi akademik dan tidak memiliki biaya untuk melanjutkan studi.
Sebenarnya saya bukanlah orang yang pintar, orang yang
istimewa, saya hanya seorang santri yang berasal dari keluaga kurang mampu. Dari
lima bersaudara, hanya saya yang mendapatkan kesempatan tersebut. Waktu masih
menuntut ilmu di MA Al anwar, saya termasuk orang yang pas-pasan, nilai rapor
dan nilai harian yang selalu Pancet ae, matematika dari kelas satu sampai kelas
tiga selalu medapat nilai 5.5, begitu juga dengan yang lainnya,saya lebih
bangga mendapatkan nilai segitu karena usaha sendiri, di banding nilai 100 tapi
dari hasil kompromi bahkan pembajakan terhadap jawaban kawan yang lain. Begitu
halnya dengan peringkat, waktu masih kelas tiga semester genap, peringkat
bukannya naik tapi justru menurun drastis menjadi 15, jika peringkat saya
dibuat pararel maka akan masuk dalam peringkat 70 an. Namun hal itu tidak
membuatku surut dalam menggapai keinginanku untuk melanjutkan studi setelah MA,
alasan yang mendasari saya tidak surut adalah perkataan Ustad Imam Ahmad
tentang pertanyaan, yang kala itu masih menjadi lurah pondok, ketika itu saya
bertanya “pak kulo mpun ten mriki 2 tahun tapi kok dereng paham paham pelajaran
dan kitab? Niku pripun pak?” beliau menjawab “ sampyan nggak usah iri dengan
temanmu yang sudah pandai, bisa jadi kepandaian mereka adalah ujian untuknya,
belum tentu ketika dia pandai di pondok, dia akan berguna setelah keluar dari
pondok, begitu juga sebaliknya”. Jawaban yang sangat sederhana tersebut telah
membuat saya sadar, bahwa “Kekurangan bukanlah penghalang tuk meraih impian”.
Kala itu saya masih ingat, kawan-kawanku menjadi agak putus
asa dan pesimis untuk melanjutkan studi di PTN, pasalnya tidak ada satu pun
siswa yang di lolos SNMPTN, kekecewaan tidak hanya dirasakan oleh kawan kawan
tetapi juga dirasakan oleh pak andhika sebagai bagian kesiswaaan, salah satu teman saya yang membuat kawan
kawan yang lain juga merasa drop, orang yang berkata tersebut termasuk orang
yang masuk dalam lima besar di kelas IPA, dia berkata “wahh.. aku moh daftar
maneh, SNMPTN yang tanpa tes aja gagal, apalagi dengan tes? Jelas gagale”.
Namun perkataan itu tak membuat saya menyerah. Akhirnya saya memutuskan untuk
mendaftar lagi lewat jalur SBMPTN, dan pendaftaran yang saya lakukan tanpa
sepengatuhan orang tua saya, masalahnya adalah, ketika kemarin saya mengikuti
SNMPTN, banyak tetangga yang menertawakan, bahkan dari pihak keluarga besar
juga, “kangge mangan ae angel, kok meh nguliahke, emange due duet ko ndi? Mondokno
anak ae iseh utang utang”. Saya berharap ketika saya lolos SBMPTN dapat menjadi
kado terindah untuk orang tua saya, bahwa “kekurangan bukanlah penghalang tuk
meraih impian”.
Ujian nasional telah usai, dan masih ada waktu untuk
menunggu test SBMPTN, kesempatan tersebut tidak saya sia-sia kan, saya gunakan
untuk khikmah semaksimal mungkin kepada pondok, karena saya sadar bahwa selama
tiga tahun menyerap ilmu di MA ini khidmah yang saya lakukan sangat jauh dari
harapan, dengan niat yang tulus. Ketika itu saya berniat “khidmah yang saya
lakukan adalah untuk mendapat keridoan dari syaikhina dan asatidz, serta
sebagai wasilah supaya lolos SBMPTN dan mendapatkan beasiswa” dan saya masih
ingat salah satu perkataan guru saya, kalau tidak salah adalah ustadz Irvan,
“ketika kamu menginginkan keinginanmu terkabul, Nadarilah”, nadar yang ku
ucapkan adalah “ saya tidak akan pacaran sampai lulus, jika saya di terima di
PTN”, karena saya sadar, kesalahan fatal yang saya lakukan di MA adalah
melakukan surat-suratan dengan anak agama B, namanya Afifah, sehingga
mendapatkan hukuman meminta maaf dan mengakui kesalahan di semua kelas, baik
putri maupun putra.
EmoticonEmoticon