handout fonologi



Handout ini merupakan tugas mengedit handout fonologi, dalam mata kuliah fonologi. File asli handout merupakan karya dari dosen Haryadi, dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Semarang
HANDOUT


FONOLOGI


Oleh:
AHMAD SHOFIYULLAH
2111413043




JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
HANDOUT FONOLOGI

PENGERTIAN FONOLOGI DAN FONEMIK
(Pertemuan 1)
1.      Pengertian Fonologi
Pengertian fonologi menurut para ahli bermacam-macam. Dari bermacam-macam pengertian fonologi dapat diklasifikasi menjadi tiga, yaitu secara harfiah, aliran eropa, dan aliran amerika.
a.      Secara Harfiah
Fonologi berasal dari kata fon berarti bunyi dan logos berarti ilmu.
Jadi fonologi adalah ilmu tentang bunyi (bahasa)
b.      Menurut Aliran Praha atau Eropa
Fonologi sama dengan fonemik, menurut aliran praha , fonologi adalah ilmu yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsinya sebagi pembeda arti.
c.       Menurut Aliran Amerika
Fonologi mencakup dua bidang, yaitu fonetik dan fonemik. Menurut aliran Amerika, fonologi adalah ilmu yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa tanpa memperhatikan fungsinya sebagai pembeda arti dan mmenyelidiki bunyi-bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsinya sebagai pembeda arti.
d.      Fonologi berasal (dari bahasa Yunani: φωνή, phone, "suara, suara" dan λόγος, logos, "kata, suara, subjek percakapan") adalah penelitian yang dilakukan mengenai pola bunyi bahasa yaitu pada bunyi-bunyi yang berfungsi dalam suatu bahasa.
e.       Menurut Frank Parker (1994), fonologi merupakan suatu bidang yang mempelajari sistem bunyi suatu bahasa: yaitu rumus-rumus yang menentukan aspek sebutan.
f.       Istilah “fonologi” berpadanan dengan  phonology di dalam bahasa Inggris. Ia merupakan satu bidang khusus dalam linguistic
Komponen Fonologi
            Komponen fonologi merupakan satu dari dua komponen utama tata bahasa (yang sebuah lagi; komponen sintaksis). Fonologi memetakan setiap kali sintaksis menjadi suatu gambaran ciri-ciri fonetik yang paling terperinci; yaitu menyajikan setiap kalimat dengan ucapannya. Komponen fonologi tidak berhubungan dengan komponen semantik sesuatu pemerian linguistik selama kedua komponen ini beroperasi secara sendiri-sendiri pada struktur sintaksis.

            Komponen fonologi merupakan komponen tata bahasa generatif yang merubah gambaran fonetik sistematik dari suatu tali sintaksis formatif menjadi gambaran fonetik sistematis dan merupaka sistem kaidah-kaidah siklus yang memetakan struktur-struktur permukaan menjadi gambaran-gambaran fonetik. Olehkarena komponen fonologi ini merubah tali formatif menjadi gambaran fonetik, maka dia merupakan jembatan penghubung antara sintaksis dan fonetik.
            Perlu dicatat bahwa komponen fonologi hanya beroperasi pada penanda-penanda frase turunan terakhir dari sintaksis. Komponen fonologi bersifat interpretatif belaka. Dengan singkat dapat disimpulkan bahwa komponen fonologi sebenarnya fonetikdari setiap kata beserta akhiran-akhirannya; intonasi kalimat dan sebagainya. Dengan kata lain, kaidah-kaidah komponen fonologi melukiskan bagaimana caranya setiap kalimat diucapkan.
            Pemerian pengetahuan tata bahasa seseorang tidak mencakup bagaimana sebenarnya dia mempergunakan pengetahuan tersebut dalam produksi dan komprehensi dalam pembentukan dan pemahaman kalimat-kalimat. Tata bahasa tidak menentukan proses informasi kemampuan-kemampuan otak manusia yang dibutuhkan bagi komunikasi lisan.
            Konsep yang kita perbincangkan ini seringkali ditandai sebagai pembedaan antara kompetensi linguistik dan performansi linguistik. Kompetensi linguistik hanya mengacu kepada pengetahuan si pembicara asli mengenai bahasanya (tata bahasa), sedangakan performansi linguistik mengacu kepada perangkat keterampilan dan strategi yang dipergunakan oleh si pemakai bahasa bila dia menerapkan kompetensi linguistiknya dalam produksi dan komprehensi kalimat-kalimat. Hal ini diturunkan dari konsepsi Ferdinand de Saussure mengenai langue (yang berarti “bahasa” beranalogi dengan kompetensi) dan parole (yang berarti “ujaran” beranalogi dengan performansi).
            Sejalan dengan perkembangan linguistik dan psikolinguistik dalam kerangka ini, maka ide kompetensi/performansi inipun telah mengalami perubahan-perubahan. Misalnya, beberapa sarjana telah menunjukkan bahwa banyak aspek kompetensi dan performansi seakan-akan berhubungan erat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pendek kata kompetensi dan performansi merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
            Untuk menggambarkan pembedaan antara kompetensi dan performansi, maka ada baiknya kita menarik suatu analogi antara bahasa dan catur. Sebelum seseorang dapat bermain catur maka harus mempelajari telebih dahulu kaidah-kaidah permainan; bagaimana caranya menjalankan buah pada papan catur. Peraturan-peraturan melukiskan susunan-susunan buah yang sah di atas papan catur, yaitu susunan-susunan tertentu tidak mungkin karena tidak dapat dicapai oleh setiap urutan gerakan yang sah. Analogi antara kaidah-kaidah tata bahasa memerikan kalimat-kalimat dalam bahasa, maka kaidah-kaidah catur membatasi dan menentukan susunan buah yang mungkin pada papan catur.
            Sekarang andai kata orang yang baru saja menguasai kaidah-kaidah permainan tersebut berusaha bermain melawan seorang pemain yang berpengalaman. Orang baru ini akan jelas mati diserang, walaupun dia mungkin tidak pernah membuat gerakan yang tidak sah. Kualitas-kualitas apakah yang dimiliki oleh pemain yang berpengalaman itu sehingga orang baru itu kalah? Pemain catur yang berpengalaman itu memiliki pengetahuan dasar tentang kaidah-kaidah permainan serta seperangkat keterampilan dan siasat untuk memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk mencapai tujuan-tujuan khusus. Dengan kata lain, pemain catur yang berpengalaman itu memiliki bayangan gambaran susunan yang berarti membuat skakmat sang lawan, dan berusaha memperolehnya dengan serangkaian gerakan yang sah. Pemain yang lebih terampil daripada yang lainnya akan berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu , agar dapat bermain dengan baik maka pemain harus memiliki – sebagai tambahan pada kompetensi catur (pengetahuan mengenai kaidah-kaidah permainan) – seperangkat strategi atau siasat yang memudahkannya bertindak sebagai pemain catur. Sudah tentu strategi-strategi ini beranalogi dengan performansi linguistik.
            Analogi antara catur dan bahasa mempunyai pembatasan-pembatasannya, seperti juga halnya semua analogi. Kaidah-kaidah linguistik – berbeda dengan kaidah-kaidah catur – tidak selamannya bersifat sadar atau disengaja. Untuk mempelajari kaidah-kaidah catur maka seseorang harus duduk dan mengingatnya. Tidak mungkin mempelajari sesuatu bahasa dengan cara itu; lagi pula tak pernah ada orang yang mempelajari bahasa ibunya dengan cara itu.Meskipun demikian, barangkali contoh ini dapat membantu menjelaskan sifat umum pembedaan antara kompetensi dan performansi, antara kemampuan dan perbuatan.  
2.      Fonetik
 Fonetik berasal dari bahasa Inggris  phonetics (kata benda)  kata sifatnya phonetic. Kata sifat Indonesianya adalah fonitis dan  kata benda adalah fonetik. Menurut para ahli fonetik adalah berikut ini.
a.      Menurut  Samsuri, fonetik adalah studi tentang bunyi ujaran yang bunyi dan pengucapannya (mengkaji bunyi-bunyi secara hakiki).
b.      Menurut Lapoliwa, fonetik adalah kajian proses terjadinya bunyi-bunyi bahasa melalui pembentukan bunyi oleh pembaca sampai dengan pendengar menyadari bunyi-bunyi yang diterima.
c.       Menurut Marsono, Verhaar, dan Ramlan, fonetik adalah menyelidiki bunyi bahasa tanpa memperhatikan fungsinya sebagai pembeda arti (kajian asal mula).
Fonetik adalah bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia.
 
Fonetik ialah kajian yang diperhatikan berdasarkan organ atau anggota tubuh manusiayang mewujudkan bentuk ucapan. Manakala,fonemik ialah proses pengeluaran bunyiyang melibatkan bunyi –bunyi bahasa di mental dan belum dilafazkan. Kajian inimelibatkan organ pertuturan, sifat bunyi bahasa (akustik) dan pendengaran (auditori)
Sebagai ilmu, fonetik berusaha menemukan kebenaran-kebenaran umum dan memformulasikan hukum-hukum umum tentang bunyi-bunyi itudan pengucapannya, manakala sebagai kemahiran, fonetik pula memakai datadeskriptif dasar daripada fonetik ilmiah bagi memberi kemungkinan pengenalan danpengucapan buniyi-bunyi ujar itu. Selain itu, fonetik juga boleh didefinisikan sebagaimempelajari segala bunyi yang diucapkan dalam atau melalui mulut manusia, baikbunyi bahasa, bukan bunyi bahasa, maupun bunyi marginal, dan memberikan simbolfonetik untuk masing-masing bunyi, yakni menurut Drs. Lufti Abas (1985)
Berdasarkan pengertian menurut Lapoliwa, fonetik ada tiga jenis, yaitu fonetik akustis, auditoris, dan  organis.
a.      Fonetik Akustis, menyelidiki bunyi bahasa menurut aspek-aspek fisiknya sebagai getaran udara. Apabila kita memetik gitar misalnya , maka tali gitar ( senar) akan bergetar, sehingga menyebabkan udara bergetar pula, dan terjadilah bunyi yang dapat kita dengar. Demikian pula halnya dengan bunyi bahasa, yang dihasilkan dengan alat-alat bicara. Untuk fonetik akustis dalam penyelidikan spesialistis perlu peralatan elektronis yang rumit. Jadi penyelidikan tersebut hanya dapat dikerjakan di dalam laboratorium fonetis.
b.      Fonetik Auditoris, adalah penyelidikan mengenai cara penerimaan bunyi-bunyi bahasa oleh telinga. Fonetik auditoris tidak banyak dikerjakan dalam hubungan dengan linguistik, buku-buku standart mengenai linguistik juga sedikit sekali menguraikan mengenai fonetik auditoris itu. Dan keahlian yang dituntut sebenarnya adalah keahlian dalam ilmu kedokteran.
c.       Fonetik Organis, fonetik organis menyelidiki bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan dengan alat-alat (atau organ bicara/organs of speach). Bidang itu penting sekali untuk linguistik dan akan kita bicarakan secara terperinci dalam bab ini.
Dari ketiga jenis fonetik  tersebut, yang dikaji oleh ahli bahasa adalah fonetik organis. Yang  dipelajari dalam fonetik organis adalah berikut ini.
a.      Alat-alat bicara penghasil bunyi bahasa.
b.      Cara menghasilkan bunyi bahasa oleh alat bicara.
c.       Pendaftaran bunyi-bunyi bahasa.
d.      Pengklasifikasian bunyi-bunyi bahasa.
OBJEK FONEMIK
Karena bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat bicara kita itu banyak ragamnya, bunyi – bunyi itu dikelompokkan ke dalan unit – unit yang disebut fonem. Fonem inilah yang dijadikan objek penelitian fonemik. Jadi tidak seluruh bunyi bahasa yang bisa dihasilkan oleh alat bicara oleh fonemik.
Misalnya perbedan antar bunyi / k / pada “cocok” (sesuai) dengan / k / pada kelomopk “bercocok tanam” bersifat fungsional sebab cocok yang pertama diucapkan dengan / k / velar, sedangkan cocok yang kedua diucapkan / k / hamzah dan cocok pada kedua kat tersebut berbeda arti. Kata yang pertama diucapkan / cocok / dan kedua / coco? /, contoh lain pada kata  [ laba] dan  [ raba ].
           















ARTIKULASI
(Pertemuan 2)


Hal pertama yang perlu diuraikan dalam fonetik organis adalah artikulasi. Artikulasi adalah alat-alat bicara yang dimiliki oleh manusia. Alat-alat bicara manusia dapat digambarkan berikut ini.





1.        Paru-paru (lungs)                            12. Langit-langit lunak (soft palate)
2.        Batang tenggorokan (trachea)       13. Langit-langitt keras (hard palate)
3.        Pangkal tenggorokan (larynx)        14. Gusi (alveolar)
4.        Pita-pita suara (vocal chords)         15. Gigi atas (upper teeth)
5.        Rongga kerongkongan (pharnynx) 16. Gigi bawah (lower teeth)
6.        Akar lidah (root of tongue)             17. Bibir atas (upper lip)
7.        Pangkal lidah (back of tongue)       18. Bibir bawah (lower lip)
8.        Tengah lidah (middle of tongue)    19. Mulut (mouth)
9.        Daun lidah (blade of tongue)                        20. Rongga Mulut (moutth cavity)
10.    Ujung lidah (tip of tongue)             21. Rongga hidung (nose cavity)
11.    Anak tekak (uvula)
Apabila istilah-istilah ini dipakai dalam bentuk kata sifat, maka biasanya kita pinjam kata sifat itu dari bentuk latinnya (yang sering kita lihat pula dalam istilah Inggris). Misalnya kita tidak lazim memakai sebutan bunyi bibiir, atau bunyi gigi, melainkan bunyi labial, dan bunyi dental. Untuk memudahkan menggunakan istilah semacam itu di bawah ini disebutkan beberapa istilah yang paling sering dipakei:
3.      Pangkal tenggorokan (larnyx) – laringal (laryngeal)
5.      Rongga kerongkongan (pharnynx) – faringal (phariyngeal)
7.      Pangkal lidah (back of tongue) – dorsal
8.      Tengah lidah (middle of tongue) - medial
9.       Daun lidah (blade of tongue) – laminal
10.  Ujung lidah (tip of tongue) – apikal
11.  Anak tekak (uvula) – uvular
12.  Langit-langit lunak (soft palate) - velar
13.  Langit-langitt keras (hard palate) – palatal
14.  Gusi (alveola) – alveolar
      15/16. Gigi (teeth) – dental
      17/18. Bibir (lip) - labial
19/20. Rongga mulut (mouth cavity) – oral
20/21. Rongga hidung (nose cavity) – nasal
Alat-alat bicara dapat diklasifikasin menjadi dua, yaitu artikulator dan titik artikulasi. Artikulator adalah  bagian alat ucap yang dapat bergerak. Yaitu akar lidah, pangkal lidah, tengah lidah, daun lidah, ujung lidah dan bibir bawah. Titik artikulasi adalah bagian dari rongga mulut yang dituju oleh artikulator dalam proses penghasilan bunyi, yaitu pangkal tenggorokan, rongga kerongkongan, anak tekak, langit-langit lunak, langit-langit keras, gusi, gigi, dan bibir atas.
























BUNYI BAHASA
(Pertemuan Ke-3)

Bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi bahasa dapat terjadi jika  memenuhi tiga syarat. Ketiga syarat tersebut adalah:
a. Adanya udara sebagai energi yang keluar dari paru-paru (pada sebagian besar bahasa).
b. Adanya alat ucap manusia (artikulasi).
c. Adanya hambatan.  Ada dua macam hambatan, yaitu hambatan oleh pita suara, dan hambatan oleh                     
    artikulator pada titik artikulasi.
Terjadinya bunyi bahasai melalui proses. Proses terjadinya bunyi bahasa adalah:
a. Mengalirnya udara dari paru-paru keluar paru-paru.
b. Aliran udara dari paru-paru dihambat oleh pita suara sehingga terjadi getaran yang disebut proses       
    fonasi.
c.Setelah dihambat pita suara, udara dihambat oleh artikulator dan titik artikulasi yang disebut proses   
    artikulasi.
d. Proses selanjutnya adalah udara keluar dari rongga mulut (proses oral) atau keluar dari rongga
     hidung(proses nasal).
Menurut Marsono, bunyi bahasa dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
a.Berdasarkan ada tidaknya hambatan pada artikulasi, bunyi bahasa dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu vokal, konsonsn, dan semivokal.
b.  Berdasarkan rongga yang dilalui oleh arus udara,  bunyi bahasa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu oral  dan nasal.
c. Berdasarkan ada tidaknya ketegangan sewaktu menghasilkan bunyi bahasa, bunyi bahasa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu keras dan lunak.
d. Berdasarkan lama tidaknya bunyi bahasa dihasilkan, bunyi bahasa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu panjang dan pendek.
e. Berdasarkan rangkap tidaknya bunyi dihasilkan, bunyi bahasa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu rangkap dan tunggal.
f. Berdasarkan nyaring tidaknya bunyi dihasilkan, bunyi bahasa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu nyaring dan tidak nyaring.
g. Berdasarkan arah arus udara sewaktu menghasilkan bunyi bahasa, bunyi bahasa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu egresif dan ingresif.






















KONSONAN
(Pertemuan  Ke-4)


Konsonan adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan menghambat aliran udara pada salah satu tempat di saluran suara di atas glotis. Konsonan dapat diklasifikasikan berdasarkan:
a.      Cara artikulasi
b.      Titik arrtikulasi
c.       Bergetar tidaknya pita suara
d.      Saluran (rongga) yang dilalui udara
e.        
KONSONAN
f.     Konsonan ialah bunyi selain dari bunyi vokal. Konsonan terhasil apabila terdapatgangguan atau halangan oleh alat artikulasi terhadap udara dari peparu. Konsonanterdiri daripada konsonan bersuara dan konsonan tidak bersuara.Konsonan bersuara bermaksud konsonan yang terhasil apabila tekanan udarayang keluar dari peparu menggetarkan pita suara manakala konsonan tidak bersuaraadalah konsonan yang terhasil apabila udara dari peparu tidak menggetarkan pitasuara.dalam bahasa melayu konsonan terbahagi kepada 2 iaitu konsonan asli dankonsonan pinjaman. Konsonan asli bahasa melayu merupakan konsonan yang sediaada dan diguna oleh penutur bahasa melayu tanpa sebarang perlakuan adaptasi olehpenutur.

g.      Konsonan ialah bunyi selain dari bunyi vokal. Konsonan terhasil apabila terdapatgangguan atau halangan oleh alat artikulasi terhadap udara dari peparu. Konsonanterdiri daripada konsonan bersuara dan konsonan tidak bersuara.Konsonan bersuara bermaksud konsonan yang terhasil apabila tekanan udarayang keluar dari peparu menggetarkan pita suara manakala konsonan tidak bersuaraadalah konsonan yang terhasil apabila udara dari peparu tidak menggetarkan pitasuara.dalam bahasa melayu konsonan terbahagi kepada 2 iaitu konsonan asli dankonsonan pinjaman. Konsonan asli bahasa melayu merupakan konsonan yang sediaada dan diguna oleh penutur bahasa melayu tanpa sebarang perlakuan adaptasi olehpenutur. Dalam bahasa melayu terdapat 9 jenis konsonan iaitu :
h.      Nurhidayah Binti Sahalan (JEA090113) 4

A.      Jenis-jenis Konsonan Berdasarkan Cara Artikulasi
Menurut cara pengucapannya dapat kita bedakan konsonan sebagai berikut:
(i)     Bunyi letupan (plosives, stops), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menghambat arus udara sama sekali di tempat artikulasi tertentu secara tiba-tiba, sesudahnya alat-alat bicara di tempat artikulasi tersebut dilepaskan kembali. Bagian pertama disebut  hambatan atau implosi (implosion), bagian kedua disebut letupan atau eksplosi (explosion). Kedua taraf tersebut dapat terjadi di berbagai  tempat tempat artikulasi misal di antara bibir, hasilnya letupan bilabial, di antara ujung lidah dan langit-langit lunak hasilnya letupan apiko velar dan lain-lain. Silahkan mencari yang lain, entah dalam bahasa daerah anda sendiri, entah dalam bahasa Indonesia, atau bahasa asing yang anda kuasai, jangan lupa bunyi hamzah.
(ii)    Semua bunyi yang bukan letupan lazimnya disebut kontinuan (continuante). Bunyi kontinuan meliputi beberapa jenis, yaitu sengau, sampingan, paduan, geseran, dan aliran jenis-jenis ini diuraikan sekarang.
(iii)  Bunyi Sengau (nasal), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menutup arus udara keluar melalui rongga mulut tetapi membuka jalan agar dapat keluar melalui rongga hidung. Penutupan arus udara ke luar melalui rongga mulut dapat terjadi: antara kedua belah bibir  hasilnya bunyi (m) , antara ujung lidah dan ceruk hasilnya (n), antara tengah lidah dan langit-langit keras hasilnya (nj), antara pangkal lidah dan langit-langit lunak hasilnya (  ). Semua itu dapat dirasakan, yang sulit dirasakan ialah bahhwa dalam pengucapan bunyi sengau apa pun perlu langit-langit lunak di turunkan (yaitu tidak menyentuh dinding belakang rongga kerongkongan) agar arus udara dapat ke luar melalui rongga hidung.
(iv)  Bunyi Sampingan (laterals), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menghalangi arus udara sehingga keluar melalui sebelah atau biasanya ke dua sisi lidah. Tempat artikulasi adalah antara ujung lidah dan lengkung kaki gigi, hasilnya bunyi ( l ).
(v)    Bunyi Paduan (afrikat),  dihasilkan dengan menghambat arus udara disalah satu tempat artikulasi dimana juga bunyi letupan diartikulasikan, lalu dilepaskan secara frikatif (lihat (VI) yang berikutnya). Artinya eksplosinya terjadi sedemikian rupa sehingga pada tempat artikulasi suatu saluran sempit dipertahankan, hasilnya bunyi geseran sebagai bagian kedua dari bunyi afrikat itu. Contoh (   ), (   ).
(vi)  Bunyi Geseran atau frikatif (fricatives) adalah bunyi yang dihasilkan oleh alur yang amat sempit sehingga sebagian besar arus udara terhambat. Penghambatan dapat terjadi diantara pangkal lidah dan anak tekak, hasilnya bunyi (r), antara daun lidah dan langit-langit keras hasilnya bunyi (s), (z), antara gigi atas dan bibir bawah hasilnya bunyi (f) dan (v), antara ujung lidah dan gigi atas hasilnya bunyi ( j ) dan (e).
(vii)                   Bunyi Geletar (trillis), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan mengartikulasikan ujung lidah pada lengkung kaki gigi, serta melepaskannya dan segera lagi mengartikulasikannya, dst. Jadi bunyi geletar adalah suatu urutan dari letupan apiko alveolar yang cepat sekali sehingga  ujung lidah menggeletar melawan lengkung kaki gigi dengan waktu yang sama dalam artikulasi konsonon lain. Misal Bunyi (r) dalam ucapan orang Indonesia kecuali yang dipakai oleh orang yang berasal dari beberapa. Sehingga alur sempit yang kedua tidak ada (jadi tidak ada bunyi frikatif) tempat artikulasinya dapat terjadi diantara bibir, hasilnya bunyi (m), diantara ujung lidah dan ceruk, hasilnya bunyi (n), dan ( l ), atau antara pangkal lidah dan langit-langit lunak, hasilnya bunyi (g).
(viii)    Bunyi kembar atau geminal (geminates), yaitu konsonan yang terjadi dengan memperpanjangkan kalau bunyi itu sesuai kontinuan atau dengan memperpanjang waktu implosi dan eksplosi dalam hal bunyi letupan. Misalnya cappa (kapa), sonne (suna) (Inggriss tengahan) matahari : aliang (Batak Toba) makan dari sudut fonetis belakang (artinya tidak kita perhatikan struktur fonemik nya lihat Bab IV, pas. (2)) tidak ada perbedaan antara bunyi kembar itu adalah satu fonem saja (seperti dalam ketiga contoh tadi) atau terjadi karena adanya kebetulan ada gabungan dari dua bunyi yang sama. Seperti dalam contoh yang berikut: penknife (penaif) (Inggris) pisau  lipat; ambillah (ambila) (Indonesia) atau sekejappun (sekedapun) (Indonesia). Perhatikan bahwa setiap bunyi  kembar secara fonetis tampak dengan satu lambang saja atau suatu garis kecil (disebut makron) di atas lambang tersebut. Nanti dalam uraian mengenai fonologi akan tampak bahwa perlu kita bedakan antara bunyi kembar itu sebagai satu fonem, atau sebagai dua fonem, lalu makron itu dipakai bila bunyi kembar yang bersangkutan merupakan satu fonem saja. Lihat Bab IV pass (2).
      Beberapa catatan lagi perlu. Istilah untuk jenis bunyi yang diuraikan pada (i) sampai dengan (ix) tadi diambil untuk sebagian besar dari uraian organis. Akan tetapi ada juga yang lebih dekat pada pengkarakterisasian akustis. Seperti misal bunyi alir. Ilmu fonetik belakangan ini belum konsekuwen. Kadang-kadang kita temukan istilah seperti spiran (spiratis), atau striden (strident), atau halus (melow). Sebetulnya istilah semacam ini tidak diambil dari fonetik.
Dalam buku-buku fonetik sering kita temukan istilah homorgan (homorganion). Dua atau lebih konsonan disebut homorgan bila tempat artikulasinya sama, misal (m) dan (p), (n) dan (t).
B.      Jenis-jenis Konsonan Berdasarkan Tempat Artikulasi
1.  Konsonan Bilabial, dihasilkan oleh bibir bawah dan bibir atas, misalnya (p,   ,   )
2.  Konsonan Labio Dental, dihasilkan oleh bibir bawah dan gigi atas, misalnya (f,v)
3.  Konsonan Apiko Dental, dihasilkan oleh ujung lidah dan gigi atas, misalnya (   ,    )
4.  Konsonan Apiko Alveolar, dihasilkan oleh ujung lidah dan gusi, misalnya (t,d)
5.  Konsonan Apiko Palatal, dihasilkan oleh ujung lidah dan langit-langit keras, misalnya (d)
6.  Konsonan Lamino Palatal, dihasilkan oleh daun lidah dan langit-langit keras, misalnya (a)
7.  Konsonan Medio Palatal, dihasilkan oleh tengah lidah dan langit-langit keras, misalnya (t,d,c,j,   )
8.  Konsonan Dorso Velar, dihasilkan oleh pangkal lidah dan langit-langit lunak, misalnya (k,g,x,    )
9.  Konsonan Uvular, dihaasilkan oleh pangkal lidah dan anak tekak, misalnya (r,Q)
10. Konsonan Faringal, dihasilkan oleh akar lidah dan dinding belakang rongga kerongkongan, misalnya (h –j-, L –x-)
11. Konsonan Hamzah, diihasilkan oleh pangkal tenggorokan, misalnya (?)
C.      Jenis-jenis Konsonan Berdasarkan Getaran Pita Suara
1.  Konsonan bersuara yaitu bunyi yang dihasilkan dengan mendapat hambatan pada pita suara (sehingga pita suara ikut bergetar) dan pada artikulator, misalnya (b,d,    ,    , g,m,n,    ,     ,v,z,l,r)
2.  Konsonan tak bersuara yaitu bunyi bahasa yang dihasilkan dengan mendapat hambatan pada artikulator, misalnya (p,l,t,   ,k,f,s,h,?)
D.     Jenis-jenis Konsonan Berdasarkan saluran Udara
1.  konsoanan Nasal adalah konsonan yang dihasilkan dengan udara melalui hidung, misalnya (m,n,    ,     )
2.  Konsonan Oral adalah konsonan yang dihasilkan dengan udara melalui mulut, contohnya adalah konsonan selain konsonan nasal.

· Separuh bundar akan menghasilkan vokal hampar, separuh hampar atau bundar danseparuh bundar.

· Separuh bundar akan menghasilkan vokal hampar, separuh hampar atau bundar danseparuh bundar.Menurut Abdul Hamid Mahmood (1996) keadaan bibir semasa menghasilkan jenis-jenisvokal adalah seperti berikut:
http://htmlimg3.scribdassets.com/4f00ycf75si47ce/images/4-0f51512d49.jpg




































VOKAL
(Pertemuan Ke-5)


Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan getaran pita suara dan tanpa penyempitan (hambatan) dalam saluaran suara di atas glotis.
 Ada beberapa cara untuk menggolong-golongkan bunyi-bunyi vokal: pertama menurut posisi lidah yang membentuk ruang resonansi, kedua menurut posisi tinggi rendahnya lidah, ketiga menurut perananan bibir dalam pengucapan vokal, keempat menurut lamanya posisi alat-alat bicara dipertahankan, kelima menurut peranan rongga hidung. Ada klasifikasi lain lagi ttetapi hanya satu daripadanya diuraikan (pasal (8)), yaitu vokal rangkap dua, artinya vokal di mana bangun mulut tidak dipertahankan dalam bentuk yang sama selama pengucapannya.
Di sini kita bicarakan kelima jenis pengolongan tadi.
(i)     Menurut posisi lidah yang membentuk ruang resonansi, vokal-vokal dogolong-golongkan atas: vokal depan (front vowels), vokal tengah (central vowels), vokal belakang (back vowels). Vokal depan dihasilkan dengan menggerakan bagian belakang lidah ke arah langit-langit sehingga terbentuk suatu rongga, yang menjadi ruang resonansi, antara bagian depan lidah dan langit-langit misal vokal (e). Vokal tengah dihassilkan dengan meggerakan bagian depan dan bagian belakang lidah ke arah langit-langit, sehingga terbentuklah suatu rongga yang menjadi ruang resonansi diantara bagian tengah lidah dan langit-langit misal vokal (  ). Vokal belakang dihasilkan dengan menggerakan bagian ddepan lidah ke arah langit-langit sehingga terbentuklah suatu rongga sebagai resonansi bagian belakang lidah dan langit-langit misal vokal (o).
(ii)   Menurut posisi tinggi rendahnya lidah, vokal digolong-golongkan atas vokal tinggi (high vowels), vokal madya (mid vowels), vokal rendah (low vowels). Tinggi rendahnya tergantung dari dekat jauhnya dari lidah terhadap langit-langit. Sebagai contoh dari suatu vokal rendah (a), vokal madya (e), vokal tinggi (i).
(iii) Menurut peranan bibir, dapat kita bedakan antara vokal bundar (rounded vowels) dan vokal tak bundar (unrounded vowels). Contoh dari suatu vokal tak bundar (i), bila vokal tersebut dibundarkan menjadi (u).
(iv)  Menurut lamanya pengucapan vokal dengan mempertahankan posisi alat-alat bicara yang sama, vokal dapat kita golong-golongkan atas vokal panjang (long vowels), dan vokal pendek (short vowels). Lamanya itu sendiri disebut kuwantitas (quantity).
(v)    Menurut peranan rongga hidung kita bedakan antara vokal sengau (nasal vowels) dan vokal mulut atau vokal oral (oral vowels). Sebenarnya penamaan tersebut dapat menimbulkan salah paham. Karen  dalam pengucapan vokal nasal bukan seluruh arus udara keluar melalui rongga hidung, sebagian keluar pula melalui rongga mulut (berbeda dari konsonan sengau dimana arus udara tidak dapat keluar melalui rongga mulut walaupun hanya untuk sebagian). Akan tetapi dalam hal sebagian vokal nasal sebagian besar dari arus udara keluar melalui rongga hidung, dan segera terdengarlah kualitas nasal dari vokal sengau yang bersangkutan, contoh vokal nasal banyak kita jumpai dalam bahasa Prancis. Dalam pengucapan vokal oral seluruh arus udara keluar melalui rongga mulut, dan langit-langit lunak di naikan menutup jalan ke rongga hidung.

Tabel 20
Vokal Bahasa Indonesia
No.
1
2
3
4
5
Vokal
Tinggi
Rendah
Lidah
Gerak Lidah bagian
Striktur
Bentuk Bibir
Contoh kata
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
[i]
[I]
[e]
[∑]
[a]
[∂]
[כּ]
[o]
[U]
[u]
Tinggi atas
Tinggi bawah
Madya atas
Madya bawah
Rendah bawah
Madya
Madya bawah
Madya atas
Tinggi bawah
Tingi atas
Depan
Depan
Depan
Depan
Depan
Tengah
Belakang
Belakang
Belakang
Belakang
Tertutup
Semi tertutup
Semi tertutup
Semi terbuka
Terbuka
Semi terbuka
Semi terbuka
Semi tertutup
Semi tertutup
Tertutup
Tak bulat
Tak bulat
Tak bulat
Tak bulat
Tak bulat
Tak bulat
Bulat
Bulat
Bulat
Bulat
Ini, ibu, kita, cari, lari
Pinggir, kerikil,kelingking
ekor, eja, enak
nenek, leher, geleng, dendeng
ada, apa,pada
emas, elang, sela, iseng
otot, tokoh,dorong, roti
oto, toko, kado,perangko
ukur, urus, turun
udara, utara, bulan, paku
2. Vokal Bahasa Angkola
Bahasa Angkola mempunyai sebelas vokal (Marsono, 1958:23).  Kesebelas vokal atau monoftong itu seperti dalamtabel 22 berikut :
Tabel 22
Vokal Bahasa Angkola
No
Vokal
Tinggi rendahnya lidah
Gerak lidah bagian
Striktur
Bentuk bibir
Contoh kata
1
[i]
Tinggi atas
Depan
Tertutup
Tak bulat
Iya ‘dia’
2
[I]
Tinggi bawah
Depan
Semi tertutup
Tak bulat
Baris ‘baris’
3
[e]
Madya atas
Depan
Semi tertutup
Tak bulat
Ela ‘ambil’
4
[ε]
Madya bawah
Depan
Semi terbuka
Tak bulat
Elek ‘bujuk’
5
[a:]
(panjang)
Rendah atas
Depan
Terbuka
Tak bulat
Bagas ‘dalam’
6
[ a ]
Rendah bawah
Depan
Terbuka
Tak bulat
Abin ‘hidang’
7
[כּ]
Rendah atas
belakang
Semi terbuka
Bulat
Olo ‘ya’
8
[כּ:]
(panjang)
Madya bawah
belakang
Semi tertutup
Bulat
Torop ‘datar’
9
[o]
Madya atas
belakang
Semi tertutup
Bulat
Oban ‘bawa’
10
[U]
Tinggi bawah
belakang
Semi tertutup
Bulat
Umur ‘umur’
11
[u]
Tinggi atas
belakang
Terutup
Bulat
Uda ‘paman’





SEMI VOKAL DAN DIFTONG
(Pertemuan Ke-6)


1.Semi- Vokal
Semi vokal adalah bunyi bahasa yang memiliki ciri vokal maupun konsonan, mempunyaai sedikit geseran, dan tidak muncul sebagai inti suku kata.
Kwalitas semi vokal ditentukan tidak hanya oleh tempat artikulasi tetapi oleh juga bangun mulut atau sikap mulut. Sikap mulut tersebut amat dekat dengan sikap mulut yang perlu untuk menghasilkan vokal tertentu. Misalnya vokal (i) adalah vokal yang paling tinggi yang ada (lihat pas. (7) di bawah) walaupun demikian tidak berarti bahwa lidah tidak dapat dinaikan lebih dekat pada langit-langit. Seandainya peninggian itu terjadi , maka terjadilah alur sempit di antara lidah dan langit-langit, daan hasilnya adalah konsonan (j). Peninggian tersebut tidak cukup untuk mencapai tempat artikulasi yang dapat dengan tepat kita pastikan. Jadi masih ada sisa dari ciri-ciri vokal. Oleh sebab itu bunyi (j) kita sebut semi vokal. Demikian pula bila vokal (u) yang merupakan vokal bundar (lihat pas. (7) di bawah), mengenai pembundaran lebih sempit lagi, maka alur yang terjadi terlalu sempit untuk menghasilkan vokal yang sejati. Maka dati itu (u) adalah semi vokal.
Semi vokal bukan vokal yang murni , bukan pula konsonan yang murni. Tetapi secara praktis dianggap sebagai konssonan saja.
Catatan: Bunyi (w) yang tadi adalah bunyi (w) yang bundar, artinya (w) yang bilabial. Akan tetapi bunyi (w) itu dapat diartikulasikan juga secara labio dental, artinya bibir bawah di dekatkan pada gigi atas, tetapi tidak sedemikian dekat sehingga menjadi bunyi (v). Maka dari itu bunyi (w) yang labio dental itu juga dipandang sebagai semi vokal . Ada baiknya jika anda melatih artikulasi itu karena dalam bahasa Indonesia bunyi (w) bundar itu selalu bilabial. Sehingga anda belum biasa akan (w) yang labio dental tersebut di atas.



2.Diftong
Diftong adalah dua vokal yang berurutan yang diucapkan dalam satu hembusan nafas (atau denyutan nafas), pada waktu pengucapannya ditandai oleh perubahan gerak lidah, dan yang berfungsi sebagai inti suku kata.
Selain dari penggolongan di atas, kita juga mengenal beberapa vokal yang digolongkan sebagai vokal rangkap dua atau diftong. Vokal rangkap dua terdiri dari dua bagian, yang pertama dengan posisi lidah lain dibandingkan dengan posisinya pada yang kedua. Namun, yang dihasilkan dengan cara tersebut bukan dua vokal, karena terdapat dalam satu suku kata (tentang pentingnya suku kata, lihat pas (13), di bawah). Bila ada dua vokal yaitu satu terdapat daalam satu suku kata dan yang kedua dalam suku kata yang berikutnya, maka tidak ada vokal rangkap dua.
Oleh karena itu pembicaraan dalam berbagai buku linguistik tentang vokal rangkap tiga atau triftong rupa-rupanya kurang memuaskan, karena tidak pernah terdapat suatu vokal atau suatu vokal dengan dua perubahan.
Posisi lidah di dalamnya dalam suku kata yang sama. Yang terdapat adalah dua atau tiga vokal, atau suatu diftong disusul oleh suatu vokal atau suatu vokal plus suatu diftong.
Contoh dari diftong: (au) dalam kata Indonesia  kalau, atau (ai) dalam kata Indonesia balai; tetapi (a) + (u) dalam kata Indonesia daun, atau (a) + (i) dalam kata Indonesia air adalah contoh dari dua vokal tunggal saja.
Diftong-diftong sering dibedakan menurut perbeedaan tinggi rendahnya dari unsur-unsurnya, yaitu antara diftong yang naik (rising dipthongs) dan diftong yang turun (falling dipthongs). Dalam bahasa Indonesia hanya ada diftong yang naik, diftong yang turun terdapat dalam kata Inggris ear dan more.
Diftong
Bunyi rangkap adalah bunyi yang terdiri dari dua bunyi dan terdapat dalam dua suku kata. Bunyi rangkap vokal disebut diftong. Ciri-ciri diftong ialah waktu diucapkan posisi lidah yang satu dengan yang lain saling berbeda (Jones, 1958:22). Perbedaan itu mencakup tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strikturnya (jarak lidah dengan langit-langit). Berdasarkan itu pula maka diftong kemudian diklasifikasikan. Klasifikasi diftong dengan contoh dalam bahasa Indonesia, beberapa bahasa nusantara, dan bahasa Inggris akan di uraikan dibawah. Contoh diftong dari bahasa nusantara, untuk bahasa angkola, dan kendanyan, berhubung dalam 2 bahasa ini tidak ada doftong walaupun bunyi-bunyi vokal kedua bahasa ini dipakai. Akan disajikan diftong dari bahasa Banjar Hulu dan Madura.
1.      Diftong naik (Rising Dipthongs)
Diftong naik adalah jika vokal yang kedua diucapkan dengan posisi lidah lebih tinggi dari pada yang pertama. Karena lidah semakin menaik, dengan demikian strikturnya semakin lama semakin tertutup, sehingga diftong ini disebut juga dengan diftong menutup. Berikut akan diuraikan diftong naik dalam bahasa Indonesia, Semende, Banjar Hulu, Madura, Jawa, dan bahasa Inggris.
a.       Diftong naik bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia memiliki tiga jenis diftong naik, yaitu:
1.      Diftong naik-menutup-maju [aI]
misalnya dalam: pakai, lalai, pandai, nilai, tupai, sampai.
2.      Diftong naik-menutup-maju [oi]
misalnya dalam: amboi, sepoi-sepoi.
3.      Diftong naik-menutup-mundur [aU]
misalnya dalam: saudara, saudagar, lampau, surau, kacau.
Dalam bahasa Indonesia hanya ada diftong naik saja, sedangkan diftong turun tidak ada.
b.      Diftong naik bahasa Semende
Bahasa Semende memiliki empat jenis diftong naik, yaitu:
1.      Diftong naik-menutup-maju [ai], misalnya dalam: bai’hewan bibit betina’, empai’baru’, petai’patai’.
2.      Diftong naik-menutup-maju [oi], mislanya dalam: baloi’seri’, apoi’sejenis penyakit’, keloi’tali rami’.
3.      Diftong naik-menutup-mundur [aU], misalnya dalam: pantau’panggil’, limau’jeruk’, parau’serak’.
4.      Diftong naik-menutup-maju [oU], misalnya dalam: sembau’sembur’, kapou’kapur’.
Selain diftong naik bahasa Semende mempunyai juga diftong turun.
c.       Diftong naik bahasa Banjar Hulu
Bahasa Banjar Hulu merupakan bahasa ibu bagi penduduk provinsi Kalimantan Selatan bagian Utara. Ada tiga jenis diftong naik dalam bahasa Banjar Hulu, yaitu:
1.      Diftong naik-menutup-maju [ai], misalnya dalam: mamai’omel’, pakai’pakai’, kainah’nanti’, balanai’belanga’.
2.      Diftong naik-menutup-maju [ui], misalnya dalam: kuitan’orang tua’, bangkui’orang hutan’.
3.      Diftong naik-menutup-mundur [aU], misalnya dalam: sauda’tidak’, mamau’hilang’.
Dalam bahasa Banjar Hulu tidak terdapat diftong turun hanya iftong naik saja.
d.      Diftong naik bahasa Madura
Bahasa Madura memiliki tiga jenis diftong naik bhasa Madura, yaitu:
1.      Diftong naik-menutup-maju [ai], misalnya dalam: songai’sungai’, anggai’orong-orong’.
2.      Diftong naik-menutup-maju [ui], misalnya dalam: kerbui’kerbau’, anggui’pakai’.
3.      Diftong naik-menutup-maju [oi], misalnya dalam: soroi’sisir’, aloi’basi (makanan)’.
Bahasa Madura hanya memilki diftong naik.
e.       Diftong naik bahasa Jawa
terdapat 1 diftong naik. Pada kata-kata afektif atau kata-kata yang bernilai kadar rasa dalam bahasa Jawa, yaitu diftong naik-menutup-maju [ui],  mislanya dalam kata: uijo’sangat hijau’, uireng’sngat hitam’.
Memiliki diftong turun.
2.      Diftong turun
a.       Diftong turun bahasa Semende
Terdapat diftong turun-membuka-mundur [IU], misalnya dalam: iu’ah’, empiu-empiu’puput batang padi’.
b.      Diftong turun bahasa Jawa
Terdapat empat jenis diftong turun, yaitu:
1.      Diftong turun-membuka-maju [ua], misalnya dalam : muarem’sangat puas’, uadoh’sangat jauh’.
2.      Diftong turun-membuka-maju [u∑], misalnya dalam: uelek’sangat jelek’, uenteng’sangat ringan’.
3.      Diftong turun-membuka-mundur [u(c terbalik)], misalnya dalam: luara’sangat sakit’, duaa’sangat panjang’.
Diftong turun-membuka-memusat [u∂mas], misalnya dalam: uempuk’sangat lunak’, luemu’sangat gemuk’.
Prof. Dr. Achmad HP
Diftong dan Monoftong
Berbeda dengan kluster yang merupakan gugus kontoid yang berfungsi sebagai onset / koda, diftorfy adalah gugus vokoid / vokoid rangkap, yang berfungsi sebagai puncak, artinya dua cokoid ini terdapat dalam satu silaba.
Ditinjau dari tingkat sonoritasnya, dalam ucapan, vokoid pertama lebih nyaring daripada vokoid kedua, seolah ada peluncuran bunyi dari vokoid pertama ke vokoid kedua. Dari segi silaba yang membedakannya antara Diftong dengan rangkaian vokoid adalah bahwa bila dua vokoid itu terdapat dua silaba berurutan, namun terpisah maka masing-masing vokoid adalah bunyi tunggal, atau monoftoy. Dalam hal vokid rangkap itu berjumlah 3 buah, disebut doftorfy.
Untuk membedakan antara diftong dan rangkaian vokoid, cermatilah contoh-contoh berikut :
1)      [ ai ]
§  Pakaian baru
§  Kain songket
2)      [ au ]
§  Harimau lapar
§  Hari mau hujan
Pada (1). [ai], pada “pakaian baru” secara fonetis persukuannya adalah [pa+kai+an], [ai] terdapat satu silaba, jadi berstatus sebagai diftory.
Terdapat pada (1). [ai] pada “kain songket”, [ai] terdapat dalam dua silaba, yang secara fonetis persukuannya adalah [ka+in], jadi [a] dan [i], merupakan rangkaian vokoid, atau masing-masing sebagai monoftong.
Beberapa diftong dalam bahasa Indonesia, misalnya dikenal beberapa diftong [au], [ai], [oi]. Dalam bahasa jawa misalnya dikenal beberapa diftory [ui] / [ue].
Diftong-diftong sering dibedakan atas diftong naik (rising diphthongs) dan diftong turun (tailing diphthongs). Pembedaan ini didasarkan pada tinggi rendahnya unsur-unsur yang membentuk diftong itu























ASIMILASI FONEMIK
(Pertemuan Ke-7)


Yang dimaksud dengan asimilasi ialah saling pengaruh yang terjadi antara bunyi yang berdampingan (bunyi kontigu) atau antara yang berdekatan tetapi dengan bunyi lain diantaranya dalam ujaran (bunyi diskret) (lihat Bab IV, pas. (7)). Dalam pasal ini hanya kita uraikan tentang satu jenis asimilasi saja, yaitu asimilasi fonetis. Istilah Inggris untuk asimilaasi adalah assimilation istilah asimilasi fonetis tidak lazim dipakai, tetapi diberi nama itu disini untuk membedakannya dari tiga jenis asimilasi yang lain, yang akan dibahas pada Bab IV berikut.
Sebagai contoh sederhana asimilasi fonetis kita ambil bunyi (t) dalam bahasa Inggris yang biasanya diucapkan secara apiko alveolar tetapi bila terdapat sebelum bunyi (s) maka menyesuaikan diri dengan artikulasi lamino alveolar bunyi (s) tersebut, menjadi lamino alveolar sendiri (t) dalam kata stop misalnya.
Sebagai contoh ke dua ambil saja kata Inggris butler. Pengucapan bunyi (t) adalah apiko alveolar, jadi ujung lidah menyentuh lengkung kaki gigi, dan hal itu terjadi pula dengan mengucapkan bunyi (l). Perbedaan antara pengartikulasian  (t) dan (l) adalah bahwa  hal (t) kedua sisi lidah menyentuh gigi atas di samping di kedua-duanya belah (untuk memungkinkan implosi, sedang dalam hal (l) kedua sisi lidah tidak dinaikan  demikian. Adapun eksplosi bunyi (t) biasanya terlaksana dengan melepaskan  ujung lidah dari lengkung kaki gigi. Padahal dalam kata butler posisi ujung lidah menyentuh lengkung kaki gigi tetap dipertahankan karena posisi itu perlu untuk pengartikulasian bunyi (l). Jadi pelepasan pada detik eksplos bunyi (t) itu tidak mungkin dengan menurunkan ujung lidah. Maka  dari itu yang diturunkan adalah kedua sisi lidah. Eksplosi semacam ini disebut letupan samping (side plosian). Hal itu terasa anda diajak mencoba merasakannya.
Di antara kedua bunyi (t) dan (l) dalam kata butler tadi ada suatu pengaruh lain lagi. Oleh karena bunyi (t) tidak bersuara sedangkan bunyi (l) memang bersuara, maka dalam pengucapan banyak penutur Inggris bunyi m(l) tersebut dihasilkan dengan cara tak bersuara. Dalam perlambangan fonetis hal itu lazim dilambangkan dengan angka nol kecil di bawah tanda bunyi yang bersangkutan.
Dalam contoh-contoh tadi perhatika arah pengaruh fonetis. Dalam laminalisasi pelafalan bunyi (t) dalam kata stop seperti diuraikan di atas. Bunyi (s0 lah yang mempengaruhi artikulasi bunyi (t), tidak sebaliknya. Pengaruh terjadi ke depan; asimilasi ke depan semacam itu disebut asimilasi progresif (progressive assimilation). Sedangkan letupan samping bunyi (t) dalam kata butler diakibatkan oleh perlunya mengartikulasikan bunyi (l) yang berikutnya secara apikal dengan perkataan lain, arah pengaruh adalah ke belakang , dan asimilasi semacam itu disebut asimilasi regresif ( regressive assimilation). (katakanlah asimilasi manakah terdapat dalam contoh  di atas silahkan cari contoh lain).
Beberapa contoh lagi dari asimilasi fonetis akan berguna. Ambil inisialnya kata Inggris bad dibandingkan dengan kata bat. Dalam kata bad vokalnya panjang dibandingkan dengan vokal kata bat. Dan sebabnya adalah bahwa bunyi (d), sebagai bunyi letupan bersuara pada akhir kata, memperpanjang vocal yang mendahuluinya. Jadi di sini ada asimilasi fonetik (karena tidak mengubah fonem yang bersangkutan), dan memang regresif.
Asimilasi dapat juga berakibat pada perubahan bunyi melalui satu atau lebih bunyi diantaranya. Sebagai contoh bandingkan kata Belanda. Hand tangan debandingkan dengan kata (diminutive) handje tangan keci. Morfem diminutive –je; oleh karena bunyi (l), menyebabkan terjadinya tiga hal: (1) d itu bunyi (t) dalam hal ini diartikulasikan sedikit kebelakang menjadi medio laminal, (2) bunyi (n) mengalami perubahan artikulasi yang sama dan hal itu mudah dimengerti, karena (t) dan (n) adalah homorgan yaitu menjadi medio laminal juga, (3) vocal (a) itu diubah menjadi vocal yang sedikit lebih tinggi dan sedikit lebih depan , disbanding dengan vocal (a) dalam kata band.—karena tidak ada perubahan fonem, maka asimilasi bersifat fonetis saja, dan arah asimilasi adalah regresif.



CIRI PROSODI
(Pertemuan Ke-9)


Ciri prosodi adalah jenis kelas pembeda (kelas yang membedakan satuan bahasa dengan satuan bahasa lainnya) yang meliputi titi nada, tekanan, dan aksen.
a. Titinada
Dari sudut fonetik akustis semua bunyi adalah getaran udara, dan makin tinggi frekuwensi getaran itu (lazimnya dihitung perderik), makin tinggi nada bunyi. Nada bunyi bahasa yang paling mudah ditangkap oleh alat pendengaran adalah nada bunyi yang dihasilkan dengan pembentukan alur sempit antara pita-pita suara, dan frekuwensi getaran udara yang ditimbulkannya ditentukan oleh frekwensi getaran pita-pita suara.—istilah Inggris untuk titi nada adalah pitch.
Salah satu fariasi titinada yang menyertai seluruh kalimat, atau bagian kalimat , adalah intonasi (intonation) atau lagu melody. Anda dapat mendengar dengan mudah bahwa kita tidak memakai nada yang sama bila kita berbicara; coba saja ucapkan beberapa kalimat pada nada satu dari gitar, atau piano, dan segera anda mendengar betapa aneh pengucapan semacam itu. Jadi hampir setiap kata ( dan tidak jarang selam mengucapkan satu kata saja) dalam kalimat diucapkan dengan nada yang lain lagi. Dari itu dalam kalimat dihasilkan sesuatu lagu: intonasi.
Demi gampangnya analisa intonasi, maka para ahli fonetik dan fonologi memakai istilah seperti: nada “tinggi” (high), “rendah” (low), “sedang” (raid); atau tinggi rendahnya dibedakan menurut angka saja, mis. angka 1 sampai dengan angka 4, seperti pada musik (tetapi tidak sama dengan jarak di antara nada dalam musik). Misalnya kalimat Apakah Saudara sudah makan? Dapat dianalisa intonasinya sebagai berikut:
Yaitu intonasi mulai pada 4, menurun sampai pada 1 pada saat mulai diucapkan kata makan, dan menaik sampai pada 3 pada akhir kalimat itu. Tingginya yang tepat hanya dapat ditentukan dalam laboratorium fonetik saja. Walaupun demikian tanpa peralatan laboratorium pun kita dapat mencapai sesuatu analisa yang cukup memuaskan juga, khususnya bila kita mempunyai bakat musik, dan telinga kita “peka” akan tinggi rendahnya nada.
            Perbedaan nada tidak absolut, artinya tidak mutlak perlu setiap penutur Indonesia memulai kalimat tanya tadi pada (mis.) frekwensi 800 getaran per detik. Yang penting adalah perbedaan relatif kita bisa mulai memainkan suatu lagu di piano pada kunci nada yang mana saja kita sukai, dan demikian pula dengan nada suara. Suara wanita dan pria dewasa biasanya berbeda satu oktaf tingginya, tetapi perbedaan relatif tinggi rendahnya kalimat tertentu yang dituturkannya agaknya tidak terlalu banyak. Malahan orang yang sama dapat berintonasi lebih rendah frekwensinya pada satu saat, dapat lebih tinggi pada saat lain dalam kedua hal itu perbedaan relatif nada-nada intonasi tertentu agaknya tidak teralu jauh.
            Perbedaan relatif di antara nada-nada yang dipakai dalam intonasi dapat berbeda di antara bahasa-bahasa (mis. dalam bahasa Prancis pada yang tertinggi dan yang terendah tidak terlalu berjauhan, dibandingkan dengan bahasa Inggris), demikian pula di antara dialek-dialek, dan di antara penutur bahasa individuil.

b.Tekanan dan Aksen

Tekanan (Inggr. stress) dan aksen (accent) sulit sekali dibedakan. Kesulitan tersebut terdapat dari sudut istilah-istilah, dan terdapat pula dalam fakta-fakta yang dinamai oleh istilah-istilah tersebut. Atau dengan perkataan lain, kesulitan tadi untuk sebagian adalah terminologis saja (“terminologi” = peristilahan) dan untuk sebagian berupa faktis, yaitu menyangkut fakta-fakta.
            Kesulitan terminologis belum dipecahkan oleh para ahli fonetik dan fonologi. Istilah Inggris stress sering dipakai sebagai nama dari accent, jadi stress dan accent sama. Misalnya kaidah Prancis bahwa dalam setiap kata silabe terakhirnya diberi stress dapat dirumuskan pula dengan memakai istilah accent. Atau mis. dalam bahasa Inggris ada kaidah bahwa silabe terakhirnya di depan akhiran –ic atau –ical harus diberi stress atau dirumuskan juga dengan menyatakan bahwa silabe tersebut harus diberi accent. Mari kita putuskan sekarang untuk gejala semacam itu kita pakai istilah accent, bukannya istilah stress, Indonesianya: istilah “aksen”, bukannya istilah “tekanan”. Jangan kacaukan arti istilah ilmiah “aksen” dengan arti “aksen” dalam bahasa sehari-hari, dimana “aksen” sering berarti “logat” atau pelafalan menurut bahasa atau dialek tertentu.
            Istilah “tekanan” kita pakai untuk apa yang dinamai sebagai “amplitudo” dalam ilmu alam (dari kata Latin amplitudo ‘lebarnya’). Amplitudo adalah “lebarnya” getaran udara. Itu jelas berbeda dari frekwensi yang diuraikan dalam pas. (14) di atas. Tingginya frekwensi netral terhadap amplitudo masing-masing getaran. Mis. bila anda menggerakkan tangan di depan dada dari kanan di kiri dan kembali dua kali sesekon, maka “frekwensi” setinggi “2” itu dapat anda laksanakan dengan “amplitudo” sepuluh sentimeter atau dengan amplitudo tigapuluh sentimeter. Memang suatu frekwensi yang tingginya 2 sedetik tidak dapat anda dengar. Tetapi dapat anda dengar bunyi yang nadanya sesuai dengan frekwensi yang anda hasilkan. Bila demikian, apa akibat dari amplitudo gerakan tersebut? Bunyinya akan lebih keras jika amplitudonya tigapuluh senti, lebih halus bila hanya sepuluh senti. Jadi amplitudonya tigapuluh senti, lebih halus bila hanya sepuluh senti. Jadi amplitudolah yang menentukan kerasnya atau kuatnya bunyi yang dihasilkan itu. Hal itu lepas dari frekwensi.
            Di sini ada kesulitan terminologis lagi. Karena buku-buku fonetik sering membedakan tekanan (stress, dan memang diandalkan di sini stress itu menyangkut besarnya amplitudo) atas “tekanan tinggi” dan “tekanan rendah” (high stress dan low stress). Bila istilah “tinggi” dan “rendah” tidak disalahtafsirkan, kita tidak keberatan. Padahal, bahaya salah tafsir ada: istilah “tinggi” dan “rendah” dapat dianggap menyangkut frekwensi dan frekwensi lain dari amplitudo. Maka dari itu mari kita bedakan, bila perlu, tekanan (stress) itu sebagai “tekanan kuat” dan “tekanan lemah” (strong stress dan weak stress) istilah “kuat” dan “lemah” tidak begitu menyesatkan, karena besarnya amplitudo getaran memang menentukan kuatnya bunyi yang dihasilkan.
            Tekanan, seperti halnya dengan nada, adalah relatif, tidak absolut. Bila sebagian dari suatu tuturan diucapkan dengan suara yang lebih kuat daripada kuatnya suara dalam bagian lain-lainnya dalam tuturan tersebut, perbedaan relatif tersebut memadai. Ukuran absolut kuatnya bunyi (yaitu dengan bilangan jumlah “desibel”) tidak penting bagi fonetik.
            Sekarang mari kita ambil suatu contoh kongkrit dari tekanan. Mis. Bila saya ucapkan kalimat Saya mau pergi ke Buru (maksudnya pulau Buru), tetapi entah karena apa anda mendengar “ke Boro”, dan heran mengapa saya mau ke Boro, maka saya dapat mengulangi kalimat tadi dengan menekankan keras “ke Buru”. Tekanan disini, yaitu pengucapan kata-kata tersebut, adalah ucapan dengan amplitudo yang lebih besar; tekanan disini disebut “tekanan kontras”: [.....] ke Buru, bukan ke Boro.
            Sekarang mari kita pindah ke masalah aksen, mis. dengan contoh tadi mengenai aksen pada akhir dalam bahasa Prancis, atau aksen pada silabe yang di depan akhiran –ic atau –ical dalam bahasa Inggris. Di sini jelas aksen tidak dipakai untuk membedakan secara kontrastif silabe yang diaksenkan dari silabe lain-lainnya dalam kata yang bersangkutan. Jadi aksen “leksikal” hanya merupakan ciri khas terstruktur bunyi kata yang bersangkutan. Tetapi rupa-rupanya disini anda menanyakan apakah aksen itu secara kongkrit berbeda dari tekanan, artinya apakah aksen itu mungkin tanpa amplitudo yang lebih besar. Jawabannya adalah bahwa memang ada dua jenis aksen: aksen yang terlaksana dengan tekanan (disebut “aksen tekan”, Inggr. stress accent, sering juga disebut “aksen dinamis”); dan aksen yang terlaksana dengan nada (disebut “aksen nada”, Inggr. pitch accent, sering juga disebut “aksen musikal”). Aksen itu baik tanpa tekanan maupun tanpa nada memang tidak pernah ada. Tetapi karena aksen dapat dengan tekanan, dapat juga dengan nada, maka aksen tidak sama dengan tekanan, tidak sama juga dengan nada. Lebih sulit lagi, tekanan dapat terdiri dari amplitudo yang lebih besar saja, tetapi sering disertai oleh nada yang lebih tinggi juga. Mis. tuturan tadi [.....] ke Buru, bukan ke Boro agaknya akan diucapkan dengan nada lebih tinggi pada kata-kata Buru dan Boro, tetapi peninggian nada itu tidak masuk hakekat tekanan.
            Ilmu linguistik belum begitu maju dalam usaha memecahkan masalah kebersamaan nada, tekanan, dan aksen. Yang penting ialah kita bedakan antara aksen tekan dan aksen nada. Pembedaan tersebut menyangkut fakta-fakta linguistis. Mis. aksen dalam bahasa Jepang adalah aksen nada, tetapi aksen dalam bahasa Indonesia adalah aksen tekan. Itu tidak berarti bahwa aksen dalam bahasa Jepang tidak dapat disertai tekanan lebih kuat, atau bahwa aksen dalam bahasa Indonesia tidak dapat disertai nada yang lebih tinggi, tetapi hal itu tidak mutlak perlu.
            Akhirnya masih dapat ditanyakan apa hubungan antara aksen tekan dan struktur silabe, dan hubungan antara aksen nada dan struktur silabe. Masalah ini belum dibahas dengan mendalam oleh para ahli linguistik. Puncak silabe, anda ingat dari pas. (13) di atas, ditentukan oleh sonoritas. Sonoritas boleh disebut perbanyakan sumber bunyi oleh adanya pemantulan kembali bunyi yang dihasilkan oleh pita-pita suara. Sebetulnya bertambahnya sonoritas tidak berarti bertambahnya amplitudo (sonoritas itu lain dari tekanan), tetapi dapat berarti gelombang udara dari sumber-sumber banyaknya itu tidak sama sekali serentak lagi; hal itu interesan dari sudut ilmu bunyi sebagai cabang ilmu alam, tetapi untuk fonetik tidak penting. Dewasa ini para ahli menduga bahwa aksen nada lebih berhubungan dengan panjangnya bunyi silabus.











FONEMIK
(Pertemuan Ke-10)

a. Pengertian Fonemik
Untuk memahami apa yang dimaksud fonemik, di bawah ini diuraikan pengertian fonemik menurut Verhaar dan Kridalaksana.
1. Menurut Verhaar, fonemik adalah bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu menurut fungsinya untuk membedakan leksikal dalam bahasa.
2. Menurut Harimurti Kridalaksana, fonemik adalah penyelidikan mengenai sistem fonem dan prosedur untuk menenentukan fonem suatu bahasa.

b. Fonemik dan Fonetik
Perbedaan fonetik dan fonemik adalah fonetik menyelidiki bunyi-bunyi bahasa dari aspek hakikatnya, sedangkan fonemik menyelidiki bunyi-bunyi bahasa dari aspek fungsinya sebagai pembeda arti.
Persamaan Fonetik dan Fonemik adalah:
1.Fonetik dan fonemik merupakan cabang ilmu bunyi.
2.Objek yang diselidiki fonetik dan fonemik adalah bunyi bahasa.

c. Fonem dan Grafem
Jika kita berbicara tentang vokal dan konsonan seperti yang telah kita lakukan, kita berbicara tentang bunyi bahasa yang harus dibedakan dari tulisan. Bunyi bahasa yang dihasilkan manusia bermacam-macam. Ada yang membedakan arti, ada yang tidak. Bunyi [p] pada kata pagi diucapkan tidak sama dengan [p] pada kata siap karena [p] pada siap diucapkan dengan kedua bibir tertutup, sedangkan pada kata pagi bunyi [p] ini harus dilepas untuk bergabung dengan bunyi [a]. Perbedaan pelafalan itu tidak menimbulkan perbedaan arti.
Sebaliknya, jika kita membandingkan kata pagi dengan bagi, kita tahu bahwa bunyi [p] dan [b] membedakan kedua kata tersebut. Demikian pula dengan pasangan seperti tua-dua, kila-gita, pola-pula, dan pita-peta. Satuan terkecil dari ciri-ciri bunyi bahasa yang membedakan arti dinamakan fonem. Bunyi [p] dan [b] dalam contoh di atas adalah dua fonem. Berdasarkan kenyataan fonem ditulis di antara tanda garis miring: /pagi/, /kita/, /pola/.
Jika dua bunyi bahasa secara fonetik mirip, tetapi tidak membedakan arti, maka kedua bunyi itu disebut alofon dari satu fonem yang sama. Dengan demikian, jika [p] pada kata siap sepert dicontohkan di atas dilafalkan dengan merenggangkan kedua bibir kita, atau tetap mengatupkan kedua bibir itu, tidak akan ada perbedaan arti yang ditimbulkan olehnya. Dalam bahasa, seperti bahasa Thai, perbedan kecil semacam itu dipakai untuk membedakan arti. Sebagai contoh, fonem /t/ yang diucapkan biasa dan disertai hembusan napas yang kuat, sehingga seolah-olah ada bunyi h-nya dipakai untuk membedakan arti. Dengan demikian, maka /tna i/ berarti ‘ginjal’ sedangkan /thai/ berarti ‘orang’. Sebaliknya, bahasa Inggris juga mempunyai perbedaan ucapan seperti dalam bahasa Thai, tetapi dalam bahasa Inggris perbedaan ucapan ini tidak menimbulkan perbedaan arti.
Fonem harus dibedakan dari grafem. Fonem merujuk ke bunyi bahasa, sedangkan grafem adalah pelambang fonem yang berbentuk huruf. Tidak mustahil bahwa keduanya kelihatannya tidak mempunyai perbedaan. Kata pagi, misalnya, terdiri atas empat grafem atau huruf p-a-g-i dan kebetulan terdiri atas empat fonem pula, yakni /p/, /a/, /g/, dan /i/. Akan tetapi, banyak kata lain yang tidak mempunyai kesamaan seperti itu. Kata sangat dan nyanyi, misalnya, masing-masing dilambangkan oleh enam huruf. Ditinjau dari segi bunyi bahasanya, sangat terdiri dari lima fonem, yakni /saYat/, dan nyanyi dari empat fonem, yakni /ñañi/. Huruf ng pada sangat melambangkan satu fonem; demikian pula huruf ny pada nyanyi.
TUJUAN FONEMIK
Dalam kajian fonemik, istilah fonem juga dibicarakan. Bahwa fonem merupakan bunyi bahasa  terkecil yang dapat atau berfungsi membedakan arti. Telaah tentang fonem inilah yang dikatakan fonemik.
            Telaah bunyi bahasa yang dikaitkan dengan fungsinya sebagai pembeda arti ini baru berkembang pada permulaan abad ke duapuluh. Seorang Polandia, Kurszweski dianggap sebagai pelopornya. Namun, dia sendiri tidak mengembangkan idenya. Ide Kurszweski yang meletakkan  dasar-dasar fungsi sebuah bunyi bahasa, kemudian dikembangkan oleh Bandouin de Caurtanay, Daniel Jones, dan Edward Sapir. Hal ini lebih ditegaskan lagi dalam kongres linguistik di Den Hag (Belanda) tahun 1928, yang menyarankan agar setiap analisis bahasa harus membedakan bunyi-bunyi bahasa yang berfungsi (fonem) dan bunyi-bunyi bahasa yang tak berfungsi (fona). Fonemik menggunakan materi yang diambil dari hasil penelitian fonetik. Namun, tidak seluruh materi fonetik menarik perhatian fonemik. Karena itulah fonemik mengadakan pemilihan materi, yaitu hanya bunyi-bunyi bahasa yang mampu membedakan arti serta variasi-variasinya yang muncul dalam ucapan.
            Karena bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat bicara kita itu banyak ragamnya, bunyi-bunyi itu dikelompok-kelompokkan ke dalam unit-unit yang disebut fonem. Fonem inilah yang dijadikan  objek penelitian fonemik. Jadi, tidak seluruh bunyi bahasa yang bisa dihasilkan oleh alat bicara dipelajari oleh fonemik. Bunyi-bunyi bahasa yang fungsional yang menjadi kajian fonemik. Dalam hal ini L. Bloomfield (1964:78) menuliskan “the study of significant speech sound is phonology or practical phonetics”.
            Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, fonemik mengambil sikap  yang sesuai dengan harapan penelitian linguistik. Jika pembedaan bunyi bahasa (ucapan) hanya didasarkan pada sikap dan posisi alat bicara yang relatif banyak jumlahnya, tak akan mudah bunyi bahasa itu ditentukan jumlahnya secara pasti. Fonem /k/ pada kata “paku” dan /k/ pada kata “maki” tidak dihasilkan pada posisi artikulasi yang sama. Bunyi /k/ pada kata “paku” terpengaruh oleh vokal /u/ yang tergolong vokal belakang, sehingga /k/ tertarik ke belakang menjadi velar belakang, sedangkan vokal /i/ yang mempengaruhi /k/ pada kata “maki” tergolong vokal depan, yang mengakibatkan /k/ pada “maki” tertarik ke depan (disebut velar depan).





CARA MENENTUKAN FONEM
(Pertemuan Ke-11)

Fonem yakni bunyi bahasa yang dapat/berfungsi membedakan makna kata. Kalau dalam fonetik misalnya kita meneliti bunyi-bunyi /a/ yang berbeda pada kata-kata seperti yang terdapat pada kata-kata ini, intan dan pahit. Maka dalam fonemik kita meneliti apakah perbedaan bunyi itu mempunyai fungsi sebagai pembeda makna / tidak jika bunyi itu membedakan makna, maka bunyi tersebut kita sebut fonem.
Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem / bukan kita harus mencari sebuah satuan bahasa biasanya sebuah kata yang mengandung bunyi tersebut. Lalu membandingkannya dengan satuan bahasa yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem karena dia bisa berfungsi membedakan makna kedua satuan bahasa itu.
Misalnya dalam kata bahasa Indonesia.
/Laba/
/Raba/
Kedua kata itu mirip benar. Masing-masing terdiri dari 4 buah bunyi yang pertama mempunyai bunyi /L/, /a/, /b/, /a/, dan yang kedua mempunyai bunyi /r/, /a/, /b/ dan /a/.
Jika kita bandingkan:
/L/ /a/ /b/ /a/
/R/ /a/ /b/ /a/
Ternyata perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama yaitu bunyi /L/ dan /r/ kesimpulannya bahwa bunyi /L/ dan /r/ adalah dua buah fonem yang berbeda didalam bahasa Indonesia. Contoh lain pada kata “baku” dan “bahu” yang masing-masing terdiri dari 2 buah bunyi maka bunyi /k/ pada kata pertama dan bunyi /n/ pada kata ke 2 masing-masing adalah fonem yang berlainan yaitu fonem /k/ dan /h/.
Dari kedua buah kata yang mirip disebut kata-kata yang berkontras minimal (minimal pair).
Jadi untuk membuktikan sebuah fonem atau bukan harus mencari pasangan minimalnya. Kendalanya kadang-kadang pasangan minimal ini tidak mempunyai jumlah bunyi yang persis sama, misalnya “muda” dengan “mudah”. Ini merupakan pasangan minimal sebab tiadanya bunyi /h/ pada kata pertama dan adanya bunyi /h/ pada kata kedua menyebabkan kedua kat aitu berbeda-beda makna. Jadi bunyi /h/ adalah sebuah fonem.
“Teras” dengan “Teras”
Catatan :
Identitas sebuah fonem hanya berlaku dalam satu bahasa tertentu saja, misalnya dalam bahasa Mandarin (Cina ada fonem /t/ dan fonem /th/ dan /thin/ yang artinya mendengar. Demikian juga dalam bahasa Inggris. Contoh fonem /k/ dan /g/ seperti pada pasangan minimal /back/ dengan /bag/, /beck/ dengan /beg/, /bicker/ dengan /bigger/, /got/ dengan /get/.
Dalam bahasa Inggris beban fungsional fonem /L/ dengna /r/ juga tampaknya tinggi, sebab banyak pasangan minimal kita dapati seperti /lawan/ dengan /rawan/, /bala/ dengan /bara/, /para/ dengan /pala/, /sangkal/ dengan /sangkar/, /bantal/ dengan /bantar/. Sebaliknya oposisi /k/ dan /?/ barangkali hanya pada /sakat/ dengan /sa’at/. Jadi beban fungsionalnya rendah.
-          Bunyi /t/ dengan /th/ dalam bahasa Inggris bukan 2 fonem yang berbeda, tetapi 2 bunyi dari fonem sama yaitu fonem /t/
-          Dalam bahasa Indonesia fonem /i/ tidak punya empat buah alofon dalam contoh:      Cina
                        Tarik
                        Ingkar
                        Kali
Yang kedua dengan menggunakan/memperhatikan distribusi:
  1. Distribusi komplementer.
  2. Distribusi bebas.
Ad.1. Yang dimaksud dengan Distribusi Komplementer adalah distribusi yang tempatnya tidak bisa dipertukarkan juga tidak akan menimbulkan perbedaan makna. Sifatnya tetap pada lingkungan tertentu contoh fonem /p/ dlaam bahasa Inggris ada 3.
  1. Pace /pheis/ yang beraspirasi
  2. Space /spies/ yang tidak beraspirasi
  3. Map /maep/ yang tidak diletupkan
Ad.2. Distribusi bebas bahwa alofon itu boleh digunakan tanpa persyaratan lingkungan bunyi /o/ dan /j/ adalah alofon dari fonem /o/ maka pada kata “obat” dilafalkan /obat/ atau /Ébat/.
“Orang” dilafalkan /oraY/ atau /ÉraY/
Dalam distribusi bebas ini ada operasi bunyi. Yang jelas merupakan 2 buah fonem yang beda karena ada pasangan minimal tapi dalam pasangan lain ternyata hanya varian bebas seperti fonem /o/ dan /u/, buktinya pada kata:

/kalung/  = /kalong/
/lolos/      = /lulus/                   Merupakan varian bebas
/telur/     = /telor/
/lubang/  = /lobang/
Cara menentukan/mengklasifikasi fonem yang lain dengan cara mengklasifikasikan bunyi pda fonetik yakni perhatikan unsur supra segmental à ada bunyi vokal dan konsonan.
Bedanya kalau bunyi-bunyi vokal ada konsonan ini agak terbatas, sebab hanya bunyi yang membedakan makna saja yang dapat menjadi fonem. Itupun hanya tertentu saja.
Fonem segmental yaitu fonem yang berupa bunyi yang didapat sebagai hasil segmetasi terhadap ujaran arus ujaran.
Fonem supra segmental yaitu fonem yang berupa unsur-unsur supra segmental/ fonem non segmental.
Jadi pada fonemik ciri prosodi seperti :
1.      Tekanan
2.      Durasi (Ritme) lamanya waktu
3.      Nada bersifat fungsional atau dapat membedakan makna
Contoh dalam bahasa Batak
Kata tuhu (dengan tekanan pada suku pertama) artinya batu.
        tuhu (dengan tekanan pada suku kedua) berarti ketul.
Dalam Bahasa Indonesia unsur supra segmental tampaknya tidak bersifat fonemis/pun matemis namun, intonasi mempunyai peranan pada tingkat sintaksis, umpamanya kalimat.
Dia membaca komik
Jika    1.  Dengan tekanan pada kata Dia berarti membaca buku itu orang lain.
2.    Dengan tekanan pada kata membaca berarti dia bukan menulis/menjual komik
3.    Dengan tekanan pada komik berarti yang dibacakan bukan Koran. Begitu juga tanpa perubahan struktur hanya dengan memberi intonasi tanya maka kalimat itu menjadi kalimat tanya dan dengan memberi intonasi seruan maka kalimat itu menjadi kalimat seru.
Dalam bahasa Melayu dialek Jakarta kata “tahu” yang diucapkan dengan intonasi biasa berarti saya mengetahui. Tetapi bila diucapkan dengan pemanjangan bunyi /ta/ maka berarti saya tidak mengetahui.
Jika kriteria klasifikasi terhadap fonem sama dengan kriteria yang dipakai untuk klasifikasi bunyi /fon/ maka penamaan fonem pun sama dengan penamaan bunyi.
Kalau ada bunyi vokal depan tinggi bundar maka juga ada/akan ada fonem vokal depan tinggi bundar.
Kalau ada bunyi konsonan hambar bilabial bersuara maka juga akan ada fonem konsonan hambat bilibial bersuara.
Perhatikan kekhasan fonem !!
Kekhasan fonem sama dengan banyaknya fonem yang terdapat dalam satu bahasa berapa jumlah fonem yang dimiliki suatu bahasa tidak sama jumlahnya dengan yang dimiliki bahasa lain.
Jumlah fonem bahasa Inggris ada 24 buah:
  • 6 fonem vokal (a i u e ə o)
  • 18 fonem konsonan (p t c k b d j g m n η s h r l w dan y)
Ada juga yang menghitung 28 dengan menambah 4 fonem asing (t z f x).
Ada 31 buah + 3 buah fonem diftong /aw/, /qy/, /oy/.
Ada pula yang menambahkan karena hanya menganggapnya sebagai alofon dari fonem lain yaitu fonem /k/.
Perhatikan perubahan fonem
Ucapan sebuah fonem dapat berbeda-beda sebab sangat tergantung pada lingkungan/pada fonem-fonem lain yang berada disekitarnya, mialnya /o/ kalau berada pada silabel tertutup akan berbunyi /É/ dan jika berada pada silabel terbuka akan berbunyi /o/.
Perlu diingat perubahan yang terjadi pada kasis fonem /o/ bahasa Indonesia itu bersifat fonetis bukan fonemis. Tidak mengubah fonem /o/ itu menjadi fonem lain. Dalam beberapa kasus lain dalam bahasa-bahasa tertentu ada dijumpai perubahan fonem yang mengubah identitas fonem itu menjadi fonem yang lain.
Cara menentukan fonem menurut buku Analisis Bahasa/Fonologi :
  • Memperhatikan fungsi pembeda
  • Pasangan minimal, beban fungsional, ekafonem, dwifonem, dan alofonemis.
Gambaran secara umum adalah sebagai berikut:
Untuk dapat menentukan fonem-fonem suatu bahasa, kita perlu mengetahui seperti diatas. Yang telah disebutkan:
1.      Pasangan minimal dan beban fungsional
Suatu bunyi yang mempunyai fungsi untuk membedakan kata dari kata yang lain dapat disebut sebuah fonem.
Identifikasi semacam ini bisa diketahui dengan cara mencari dan membandingkannya dengan pasangan minimal. Perbedaan minimal tersebut biasanya selalu terdapat dalam kata sebagai konstituen yaitu suatu bagian ujaran. Misalnya “lupa” dan “rupa” merupakan kata yang jelas berbeda sebagai kata. Dari sudut bunyi perbedaan tersebut terdapat dalam perbedaan satu bunyi saja dalam masing-masing kata itu, yaitu /l/ dan /r/ maka kedua fonem itu dalam bahasa Indonesia berbeda secara fungsional dalam arti tadi dengan kata lain fonem /l/ dan /r/ merupakan fonem-fonem yang berbeda dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Jepang memang ada bunyi /l/ dan /r/ akan tetapi tidak ada pasangan minimal dimana perbedaan minimal itu terdapat maka dari itu /l/ dan /r/ dalam bahasa Jepang merupakan fonem-fonem yang berbeda.
Catatan:
Pasangan minimal: seperangkat kata yang sama kecuali dalam hal satu bunyi saja.
2.      Penafsiran ekafonem dan penafsiran dwifonem
Adakalanya dalam menggolongkan bunyi tertentu yang kita analisis secara fonetis ke dalam fonem tertentu, dapat kita hadapi kesulitan khusus misalnya apakah harus kita tafsirkan bunyi (dengan) bridge pada kata Inggris bridge sebagai satu fonem (afrikat) atau dua fonem (masing-masing letupan dan frikatif). Kedua macam penafsiran dalam fonologi masing-masing disebut penafsiran ekafonem (monophonematic interpretation) dan penafsiran dwifonem (biphonematic interpretation). Jika kita andaikan bunyi /d/ harus ditafsirkan sebagai satu fonem. Sebaliknya bila penafsiran ekafonem diberikan kepada /dj/ ada lagi dengan /tf/ menarik perhatian. Dalam hal /tf/ dwifonemlah yang paling tepat karena beban fungsionalnya dari oposisi /t/, /i/ tinggi sekali Y share / tear = ship / tip = fish / fit / f/ tersendiri juga amat sering kita jumpai. Bila /tf/ harus ditafsirkan sebagai dua fonem.
3.      Dengan memperhatikan variasi alotonemis
Alofon adalah wujud sama seperti variasi bunyi.
Contoh bunyi /i/ punya variasi /i/ dan /I/
Alofon = variasi fonem.
Fonem merupakan suatu wujud yang agak abstrak karena secara konkrit kita selalu mengucapkan salah satu anggota dari fonem yang bersangkutan.
Kedua kemungkinan tadi tidak menghabiskan semua variasi diantara “anggota” tadi, missal pada kata butter bunyi /t/ itu diucapkan dengan letupan samping. Lain lagi bunyi /t/ sesudah bunyi /b/.
Alofon = salah satu wujud konkrit mengucapkan sesuatu fonem bahwa diantara alofon-alofon dari satu fonem kita tidak bisa mengucapkan salah satu semau-maunya. Yang mana diantara alofon yang harus dipakai tergantung dari bunyi apa yang berdekatan pada fonem. Jadi alofon yang mana dipilih ditentukan oleh lingkungan (environment) alofon tersebut.
Variasi alofonemis termasuk fonologi karena menyangkut kemungkinan konkrit terwujudnya pengucapan dari sesuatu fonem.

# Premis-premis Hipotesis Kerja
Premis-premis adalah ilmu-ilmu fonem didasarkan pula pada pokok pikiran yang umum. Premis ini tiada lain adalah pernyataan-pernyataan secara umum tentang sifat-sifat bunyi bahasa. Perngaruh bunyi yang satu kepada yang lain lingkungannya dan hal ini merupakan sifat atau ciri bunyi bahasa seluruh dunia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa:
1.      Bunyi bahasa mempunyai kecenderungan untuk dipengaruhi oleh lingkungannya.
Kelompok-kelompoknya /mp/, /nt/ /mb/, /nd/ dll hampir tidak ada kelompok /mg/, /mk/, /np/, /nb/, /nt/, /nd/.
2.      Sitem bunyi mempunyai kecenderungan bersifat simetris
Dalam bahasa Indonesia terdapat sepasang hambat /p, t, c, k, b, d, j, g/ dan nasal /m, n, n, n/. Perlu diketahui bahwa ada juga sistem fonem bahasa yang tidak seluruhnya simetris dan jika hal semacam itu terdapat, biasanya ada pula keterangan mengapa terjadi kesimetrisan demikian itu.
Premis diatas itu dipakai dalam menentukan fonem-fonem dan sistem suatu bahasa. Disamping kedua premis itu, ada lagi dua pernyataan umum yang dipakai sebagai hipotesis kerja yaitu,
A.      Bunyi-bunyi bahasa yang secara fonetis mirip harus digolongkan ke dalam kelas-kelas bunyi atau fonem-fonem yang berbeda. Apalagi terdapat pertentangan di dalam lingkungan yang sama mirip.
Cara yang mudah untuk menerapkan hipotesis kerja itu ialah dengan mencari apa yang pasangan minimal. Contohnya: [paraŋ] dan [baraŋ], [tiri] dan [diri] dsb. Fonem-fonem yang berkelainan yaitu /p/ dan /b, /t/ dan /d/, /c/ dan /j/ dan /g/. Vokoid-vokoid yang lebih rendah disebabkan oleh kontoid-kontoid yang mengikutinya, contoh: /i/ dan /u/. Semacam ini dapat ditafsirkan dua macam yaitu: pertama, adanya perbedaan /i/ dan /I/ serta /u/ dan /U/ itu disebabkan oleh perbedaan lingkungan, sehingga tidak bisa dipakai untuk membedakan kontras. Kedua, bahwa /I/ dan /U/ selalu diikuti oleh kontoid, sedangkan /i/ dan /u/ tidak pernah; singkatnya /I/ dan /i/ atau /U/ dan /u/ tidak bisa dimasukkan menjadi fonem-fonem yang berbeda, harus dianggap sebagai varian sebuah fonem.
B.      Bunyi-bunyi yang mirip dan terdapat didalam distribusi yang komplementer, harus dimasukkan fonem yang sama.
Ada kalanya distribusi komplementer itu hanyalah sebagian saja yaitu umpamanya pada bunyi-bunyi [k] dan[?]. Yang pertama pada awal, tengah dan akhir kata, sedang yang kedua pada tengah dan akhir sehingga tidak komplementer sepenuhnya, melainkan sebagian saja. Dalam keadaan begini biasanya distribusi semacam itu dianggap tidak komplementer.
Fonem-fonem suprasegmental sama saja cara penyelidikannya yaitu dengan menggunakan premis-premis serta hipotesis-hipotesis. Sebagai contoh bahwa tekanan bisa merupakan fonem. Contohnya ‘pemindahan’ [trəensfe] vs [trəenfe] memindahkan, merupakan pasangan minimal yang hanya berbeda artinya karena tekanan saja, sedangkan bunyi-bunyi segmennya hampir-hampir tidak berbeda. Kerena hal diatas ini maka didalam bahasa Inggris, tekanan merupakan unsur fonem.
Panjangpun merupakan unsur pembeda dan oleh karena itu dianggap sebagai fonem prosodi contoh dalam bahasa Ilokano juga seperti didalam bentuk /lata/ ‘dapat’ vs /latta/ ‘Cuma’. Untuk menunjukkan bahwa tekanan dan panjang didalam bahasa ini tidaklah menjadi pembeda yang rangkap melainkan berdiri sendiri. Tekanan dan panjang memang mungkin merupakan pembeda rangkap yaitu apabila keduanya bersama-sama membedakan pengertian yang sama.
Fonem nada dalam bahasa cina. Bentuk /si/ dengan nada pertama [si] (nada datar tidak ditandai) berarti hilang, dengan nada kedua [si] berarti ‘sepuluh’ dengan nada ketiga [si] berarti ‘sejarah’ dan nada keempat [si] berarti ‘pasar’.
Jeda bisa merupakan suatu ciri pembeda, sehingga dapat dikatakan bahwa jeda itu bisa suatu hal universal. Dapatlah kiranya dimaklumi perbedaan frase berikut ini:
1.      Perempuan/ dan laki-laki muda.
2.      Perempuan dan laki-laki/ muda.
Yaitu bahwa didalam (1) kata muda hanya menandai laki-laki saja. Sedangkan didalam (2) kata itu menandai baik kata laki-laki maupun kata perempuan. Dan jeda juga dibagi menjadi dua yaitu jeda dalam dan jeda luar.
Demi gampangnya analisa intonasi, maka para ahli fonetik dan fonologi memakai istilah seperti: nada “tinggi” (high), “rendah” (low), “sedang” (raid); atau tinggi rendahnya dibedakan menurut angka saja, mis. angka 1 sampai dengan angka 4, seperti pada musik (tetapi tidak sama dengan jarak di antara nada dalam musik). Misalnya kalimat Apakah Saudara sudah makan? Dapat dianalisa intonasinya sebagai berikut:


Yaitu intonasi mulai pada 4, menurun sampai pada 1 pada saat mulai diucapkan kata makan, dan menaik sampai pada 3 pada akhir kalimat itu. Tingginya yang tepat hanya dapat ditentukan dalam laboratorium fonetik saja. Walaupun demikian tanpa peralatan laboratorium pun kita dapat mencapai sesuatu analisa yang cukup memuaskan juga, khususnya bila kita mempunyai bakat musik, dan telinga kita “peka” akan tinggi rendahnya nada.
            Perbedaan nada tidak absolut, artinya tidak mutlak perlu setiap penutur Indonesia memulai kalimat tanya tadi pada (mis.) frekwensi 800 getaran per detik. Yang penting adalah perbedaan relatif kita bisa mulai memainkan suatu lagu di piano pada kunci nada yang mana saja kita sukai, dan demikian pula dengan nada suara. Suara wanita dan pria dewasa biasanya berbeda satu oktaf tingginya, tetapi perbedaan relatif tinggi rendahnya kalimat tertentu yang dituturkannya agaknya tidak terlalu banyak. Malahan orang yang sama dapat berintonasi lebih rendah frekwensinya pada satu saat, dapat lebih tinggi pada saat lain dalam kedua hal itu perbedaan relatif nada-nada intonasi tertentu agaknya tidak teralu jauh.
            Perbedaan relatif di antara nada-nada yang dipakai dalam intonasi dapat berbeda di antara bahasa-bahasa (mis. dalam bahasa Prancis pada yang tertinggi dan yang terendah tidak terlalu berjauhan, dibandingkan dengan bahasa Inggris), demikian pula di antara dialek-dialek, dan di antara penutur bahasa individuil.
URAIAN FONEM
(Pertemuan Ke-12)

Di dalam bahasa tidak terlepas perbedaan – perbedaan bunyi – bunyi bahasa. Ahli fonetik berhenti membedakan bunyi – bunyi bahasa yang berlainan ditentukan oleh kemampuannya sendiri dan kemampuan alat – alat atau biasanya leh tujuan khusus analisisnya. Untuk tujuan – tujuan tertentu mungkin ia ingin menarik perbedaan – perbedaan yang lebih halus daripada untuk tujuan lain. Menurut tingkat kehalusan dalam realisasi kebahasaan yang ingin diperolehnya, ia gunakan apa yang disebut transkripsi.
Pembicaraan tentang transkripsi kasar, sewajarnya membawa pengertian kita terhadap fonem. Bunyi yang secara fonetis berbeda dalam lingkungan yang sama yang berpengaruh membedakan kata – kata yang berlainan, dinyatakan dengan fonem – fonem yang berbeda.
Dalam ilmu bahasa, fonem itu ditulis antara dua garis miring, /…/.Jadi dalam bahasa Indonesia /p/ dan /b/ adalah dua fonem karena kedua bunyi itu membedakan bentuk dan arti.Misalnya:
Pola ------- /pola/
Parang ------ /paraŋ/
Fonem dalam bahasa dapat mempunyai beberapa lafal yang bergantung pada tempatnya dalam kata atau suku kata. Fonem /p/ dalam bahasa Indonesia,misalnya dapat mempunyai dua macam lafal. Bila berada pada awal kata atau suku kata, fonem itu dilafalkan secara lepas. Pada kata /pola/, misalnya, fonem /p/ diucapkan secara lepas.
Kemudian diikuti oleh fonem /o/. Bila berada pada akhir kata, fonem /p/ tidak diucapkan secara lepas. Bibir kita masih tetap tertutup rapat waktu mengucapkan bunyi ini, misalnya, /suap/, /atap/, dan /katup/. Dengan demikian, fonem /p/ dalam bahasa Indonesia mempunyai dua variasi.
Bahasa Indonesia mempunyai 28 buah satuan bunyi yang terkecil pembeda makna, yang biasa disebut dengan istilah fonem, yang terdiri dari :
a.                6 buah fonem vokal, yaitu : a, i, u, e, ӗ, dan o.
b.               22 buah fonem konsonan, yaitu : b, p, t, d, g, k, s, dll.
Di dalam pertuturan fonem – fonem itu bukan merupakan bunyi – bunyi yang berdiri sendiri – sendiri yang satu terlepas dari yang lain, melainkan merupakan kesatuan bunyi yang lebih besar, misalnya kesatuan suku kata dan kesatuan kata.
Kesatuan – kesatuan fonem itu akan saling mempengaruhi, sehingga ada kemungkinan ucapan suatu fonem berbeda dari satu posisi dan dibandingkan dengan posisi lain.
1.      Lafal vokal /a/
Vokal /a/ dilafalkan dengan cara menarik lidah kebelakang dan kebawah,  disertai dengan menghembuskan udara keluar, sedangkan mulut dibuka lebar – lebar membundar.
2.      Lafal vokal /i/
Vokal /i/ dilafalkan dengan cara menarik lidah kedepan dan keatas,  disertai dengan menghembuskan udara keluar, sedangkan mulut dilebarkan dan tidak membundar.
3.      Lafal vokal /u/
Vokal /u/ dilafalkan dengan cara menarik lidah kebelakang dan keatas,  disertai dengan menghembuskan udara keluar, sedangkan bentuk mulut dibundarkan.
4.      Lafal vokal /e/
Vokal /e/ dilafalkan dengan cara menarik lidah agak kedalam  dan ketengah,  disertai dengan menghembuskan udara keluar, sedangkan bentuk mulut lebih dilebarkan sedikit.
5.      Lafal vokal /ӗ/
Dilafalkan dengan cara menjulurkan lidah kedepan dan ketengah, disertai dengan menghembuskan udara keluar, sedangkan bentuk mulut dilebarkan.
6.      Lafal vokal /o/
Dilafalkan dengan cara menarik lidah jauh kebelakang dan ketengah, disertai dengan menghembuskan udara keluar, sedangkan bentuk mulut dibundarkan.
7.      Lafal konsonan /b/
Konsonan /b/ dilafalkan dengan cara mula – mula mengatupkan kedua belah bibir rapat – rapat. Lalu udara dari dalam diletupkan dengan tiba – tiba sehingga kedua buah bibir itu terlepas.
8.      Lafal konsonan /p/
Konsonan /p/ dilafalkan dengan cara mula – mula mengatupkan kedua buah bibir rapat – rapat lalu udara dari dalam di letupkan dengan tiba – tiba sehingga kedua bibir itu terlepas.
9.      Lafal konsonan /t/
Dilafalkan dengan cara mula – mula menempatkan ujung lidah pada gigi atas,lalu udara diletupkan dengan tiba – tiba sehingga ujung lidah terlepas dari gigi atas itu.
10.  Lafal konsonan /d/
Dilafalkan dengan cara mula – mula menempatkan ujung lidah pada gigi atas, lalu udara diletupkan dengan tiba – tiba sehingga ujung lidah terlepas dari gigi atas itu.
11.  Lafal konsonan /g/
Dilafalkan dengan cara mula – mula menempatkan pangkal lidah pada langit – langit lunak, lalu udara diletupkan dari dalam dengan tiba – tiba sehingga pangkal lidah terlepas dari langit – langit lunak.
12.  Lafal konsonan /k/
Dilafalkan dengan cara mula – mula menempatkan pangkal lidah pada langit – langit lunak. Lalu udara diletupkan dengan tiba – tiba sehingga pangkal lidah terlepas dari langit – langit lunak itu.
13.  Lafal konsonan /f/
Dilafalkan dengan cara mula – mula menempelkan ujung lidah pada gusi gigi atas. Lalu udara dihembuskan keluar secara bergeser.
14.  Lafal konsonan /z/
Dilafalkan dengan cara mula – mula menempatkan ujung lidah pada gusi gigi atas. Lalu udara dihembuskan keluar secara bergeser.
15.  Lafal konsonan /s/
Dilafalkan dengan cara mula – mula menempatkan ujung lidah pada gusi gigi atas.  Lalu udara dihembuskan ke luar secara bergeser.
16.  Lafal konsonan /sy/
Dilafalkan dengan cara mula – mula menempatkan daun lidah pada langit – langit keras. Lalu bunyi ujar dihembuskan keluar secara bergeser. Konsonan /sy/ berasal dari bahasa asing.
17.  Lafal konsonan /kh/
Dilafalkan dengan cara mula – mula mendekatkan pangkal lidah pada langit – langit lunak. Lalu udara dihembuskan keluar secara bergeser. Ucapannya baik pada awal maupun akhir suku kata sama saja.
18.  Lafal konsonan /h/
Dilafalkan dengan cara mula – mula mendekatkan pangkal lidah pada dinding rongga kerongkongan. Lalu udara dihembuskan keluar secara bergeser. Ucapannya baik pada posisi awal ataupun posisi akhir suku kata adalah sama jelasnya.
19.  Lafal konsonan /j/
Dilafalkan mula – mula dengan cara menempatkan daun lidah pada langit – langit keras. Lalu udara dihembuskan ke luar hingga daun lidah terlepas dari langit – langit keras itu. Konsonan /j/ hanya pada posisi awal suku kata saja.
20.  Lafal konsonan /c/
Dilafalkan dengan cara mula – mula menempatkan daun lidah pada langit – langit keras. Lalu udara dihembuskan keluar sehingga lidah terlepas dari langit – langit lunak itu. Konsonan /c/ pada awal suku kata saja.
21.  Lafal konsonan /m/
Dilafalkan mula – mula dengan cara merapatkan kedua belahbibir atas dan bawah. Lalu udara dari dalam dihembuskan keluar dengan cara melalui rongga hidung. Ucapannya pada awal dan akhir suku kata itu sama.
22.  Lafal konsonan /n/
Dilafalkan dengan cara menempatkan ujung lidah pada gigi atas. Lalu udara dari dalam dihembuskan keluar melalui rongga hidung. Ucapannya pada posisi awal maupun akhir sama.
23.  Lafal konsonan /ny/
Dilafalkan dengan cara mula – mula menempatkan daun lidah pada langit – langit keras. Lalu udara dihembuskan ke luar melalui rongga hidung.
24.  Lafal konsonan /ng/
Dilafalkan dengan cara mula – mula menempatkan ujung lidah pada gigi atas. Lalu udara dari dalam dihembuskan keluar melalui rongga hidung.
25.  Lafal konsonan /r/
Dilafalkan dengan cara mula – mula menempatkan ujung lidah pada gusi gigi atas. Lalu udara dihembuskan ke luar dengan menggetarkan ujung lidah itu.
26.  Lafal konsonan /l/
Dilafalkan dengan cara mula – mula menempatkan ujunng lidah pada gusi gigi atas. Lalu udara dihembuskan keluar dengan cara melalui sisi kiri dan kanan lidah itu.
27.  Lafal konsonan /w/
Dilafalkan dengan cara mula – mula merapatkan bibir bawah  dengan bibir atas. Lalu udara dihembuskan ke luar dengan disertai secepatnya melepaskan kedua belah bibir itu sehingga udara dapat keluar dengan bebas.
28.  Lafal konsonan /y/
Dilafalkan dengan cara mula – mula menempatkan daun lidah pada langit – langit keras. Lalu udara dihembuskan ke luar dengan disertai secepatnya melepaskan daun lidah dari langit – langit keras itu, sehingga udara dapat keluar dengan bebas.
Di bawah ini kami berikan cara menguraikan fonem – fonem bahasa. Kami katakan sebuah  cara karena memang ada beberapa macam cara, akan tetapi yang kami kira paling mudah adalah sebagai berikut:
Pertama          : catatlah bunyi – bunyi yang secara fonetis sama atau mirip.
Kedua             : catatlah bunyi – bunyi yang selebihnya.
Ketiga             : dengan kasar kontras, karena lingkungan yang sama atau yang mirip itu sebagai  fonem – fonem yang berlainan.
Keempat         : dengan dasar linkungan yang komplementer anggaplah bunyi – bunyi yang      fonetis mirip itu sebagai fonem yang sama.
Kelima            : anggaplah semua bunyi – bunyi yang terdapat pada hal “kedua” sebagai fonem – fonem tersendiri.
Keenam          : untuk bunyi – bunyi prosodi diberlakukan cara yang sama untuk menguraikannya.

Contoh :
[pagi]               [curaŋ]             [adat]               [kəras]             [paras]
[bagi]               [juraŋ]              [saraŋ]             [təras]              [bəras]
[tari]                [karuŋ]             [seba?]             [lima]               [tanah]
[dari]               [kaluŋ]             [lima]               [səba?]             [tanah]
[kita]                [sŀsal]              [akar]               [sudu]              [timah]
[gita]                [atap]               [seraŋ]             [təŋah]             [hati]

Data di atas itu kits snggsp sebagai data seluruhnya. Sesuai dengan langkah – langkah yang kami sebutkan diatas, dapatlah diberikan disini hasil dari tiap langkah itu:
Pertama          : [p] - [b],[t] - [d],[c] - [j],[k] - [g]
                             [l] - [r],[m] - [n],[n] - [ŋ],[ə] - [ŀ]
                             [ə] - [a].
Kedua              : [s], [h], [i], [u]
Ketiga              : [p] - [b]          : [pagi] - [bagi], jadi /p/ - /b/
                          [t] - [d]          : [tari] - [dari], jadi /t/ - /d/
                          [c] - [j]           : [curaŋ] - [juraŋ], jadi /c/ - /j/
                          [k] - [g]          : [kita] - [gita], jadi /k/ - /g/
                          [l] - [r]            : [akal] - [akar], jadi /l/ - /r/
                          [n] - [ŋ]          : [tanah] - [təŋah], jadi /n/ - /ŋ/
                          [ə] - [a]          : [səraŋ] - [saraŋ], jadi /ə/ - /a/
Keempat          : [ə] - [ŀ]: [seba?] - [sisal]
                                        [səraŋ] - [sisa?]
                                        [təŋah] - [semu]
                                        [bəras]
                                        [kəras]

[ŀ] terdapat pada bunyi sibilan, sedang [ə] dilingkungan – lingkungan yang  lain, jadi keduanya terdapat dalam lingkungan yang komplementer. Karena itu merupakan varian daripada fonem yang sama. Norma fonem ialah /ə/, dengan varian [ə] dan [ŀ]

Kelima             : /s/, /h/, /i/, /u/.
Keenam           : tidak ada. Jadi fonem – fonem bahasa ini ialah : /p, b, t, d, c, k, g, l, r, m, n, ŋ,ə, a, s, h, i, u/

Demikianlah sebuah contoh analisis fonem – fonem suatu bahasa, yang terbatas datanya. Tentulah pekerjaan seorang penyelidik bahasa tidak habis disini saja, melainkan masih banyak hal – hal yang lain yang perlu dikerjakan dan diberitakannya. Sebagai contoh yang lebih lengkap, kami berikan berikut ini apa – apa yang menjadi perhatian suatu analisis fonem – fonem bahasa, yang kami kutip dan terjemahkan dari sebuah tesis mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris, FKSS, IKIP Malang Pusat, tentang fonem – fonem bahasa Jawa Bagelen. Tidak semua uraiannya kami berikan disini, melainkan hal – hal yang mungkin bisa dipakai sebagai komplemen dari apa yang telah kami uraikan di atas itu, yaitu tentang struktur suku kata, batas suku kata, pembatasan distribusi varian – varian, sedangkan hal – hal lain kami sebutkan judul bagian – bagiannya saja.



















SUKU KATA
(Pertemuan Ke-13)

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa terdapat suku kata, yaitu vokal dan konsonan. Vokal merupakan suara yang dihasilkan dalam rongga yangh dibentuk oleh bagian atas saluran pernafasan. Konsonan adalah bunyi yang kurang dapat ditangkap tanpa dukungan vokal pendahuluan yang sesudahnya. Vokal terdengar lebih terdengar daripada konsonan, nampaknya hal itu berarti bahwa setiap setiap suku kata berkaitan dengan puncak lengkung keterdengaran.
Suku kata adalh bagian dari kata yang diucapkan satu hembusan napas dan umumnya terdiri atas beeberapa fonem. Kata seperti datang diucapkan dengan dua hembusan napas : satu untuk da- dan satunya lagi untuk –tang­. Karena itu, datang terjadi dari dua suku kata. Tiap – tiap suku terjadi dari dua dan tiga bunyi : [da] dan [taŋ].
Suku kata dalam bahasa Indonesia selalu memiliki vokal yang menjadi puncak suku kata. Puncak itu dapat didahului dan diikuti oleh satu konsonan atau lebih, meskipun dapat terjadi bahwa suku kata hanya terjadi atas satu vokal atau satu vokal dengan satu konsonan. Beberapa contoh suku kata adalah sebagai berikut :
Pergi  → per-gi
Kepergian      → ke-per-gi-an
Ambil → am-bil
Dia     → di-a
Suku kata yang berakhir dengan vokal , (K)V, disebut suku buka dan suku kata yang berakhir pada konsonan, (K) VK, disebut suku tertutup.
Kata dalam bahasa Indonesia  terdiri atas satu suku kata atau lebih, misalnya ban, bantu, membantu, memperbantukan. Betapapun panjangnya suatu kata, wujud suku yang membentuknya mempunyai struktur dan kaidah pembentukan yang sederhana. Suku kata dalam bahasa Indonesia dapat terdiri atas :
1.               Satu vokal
V → a-mal, su-a-tu,tu-
2.               Satu vokal dan satu konsonan
V K →ar-ti, ber-il-mu, ka-il
3.               Satu konsonan dan satu vokal
KV→ pa-sar, sar-ja-na, war-ga
4.               Satu konsonan, satu vokal, dan satu konsonan
KVK→ pak-sa, ke-per-lu-an, pe-san
5.               Dua konsonan dan satu vokal
KKV→slo-gan, pen-dra-ma-an, ko-pra
6.               Dua konsonan, satu vokal dan satu konsonan
KKVK→trak-tor, a-trak-si, kon-trak
7.               Satu konsonan, satu vokal dan dua konsonan
KVKK→teks-til, kon-teks-tu-al, kon-trak
8.               Tiga konsonan dan satu vokal
KKKV→stra-te-gi, stra-ta
9.               Tiga konsonan, satu vokal dan satu konsonan
KKKVK→struk-tur, in-struk-si,strom
10.           Dua konsonan, satu vokal, dan dua konsonan
KKVKK→kom-pleks
11.           Satu konsonan, satu vokal, dan tiga konsonan
KVKKK→korps
Kata dalam bahasa Indonesia dibentuk dari gabungan bermacam – macam suku kata seperti yang tercantum di atas. Karena bentuk suku kata yang terdapat pada nomor 6 sampai 11 pada dasarnya berasal dari kata asing, banyak orang menyelipkan fonem /ə/ untuk memisahkan konsonan yang berdekatan. Contoh : slogan, strika, prangko diubah masing – masing menjadi selogan, setrika, perangko.
Kecuali pada kata pungut, bahasa Indonesia tidak memiliki konsonan rangkap pada akhir kata. Karena itu, kata asing yang memiliki ciri itu dipakai dalam bahasa Indonesia sering kali disesuaikan dengan menyisipkan vokal dalam ucapannya atau menghilangkan salah satu konsonannya. Kata mars dan lift kadang – kadang diubah menjadi mares dan lif.
Vokal dan konsonan yang mengisi pola suku kata pada nomor 1 sampai pada nomor 4 pada umumnya adalah vokal dan konsonan apa saja. Namun untuk pola nomor 5 sampai ke nomor 8 macamnya lebih terbatas. Jika dua konsonan terdapat dalam satu suku kata yang sama, maka konsonan yang pertama hanyalah /p/, /b/, /t/, /k/, /g/, /f/, /s/, dan /d/, sedang konsonan yang kedua hanyalah /l/, /r/, /w/, atau /s/, /m/, /n/, /k/ di dalam beberapa kata.
/pl/      pleonasme, pleno, kompleks, taplak.
/bl/      blangko, blambangan, gamblang
/kl/      klinik, klimaks, klasik
/gl/      global, gladiator, isoglos
/fl/      flamboyan, flanel, flu
/sl/      slogan, slipi
/pr/     pribadi, april, semprot
/br/     brahma, obral,amibruk
/tr/      tragedi, sastra, mitra
/dr/     driama, adres, drastis
/kr/     kristen,akrab, krupuk,mikroskop
/gr/     gram, granat, grafik
/fr/      fragmen, diafragma, frustasi
/sr/      pasrah, Sragen, Sriwijaya
/ps/     psikologi, psikiater, psikolog, pseudo
/ks/     ekstra, eksponen
/dw/   dwifungsi, dwiwarna, dwibahasa
/sw/    swalayan, swasenbada, swasta
/kw/    kwintal, kwitansi
/sp/     spora, spanduk, sponsor
/sm/    smokel
/sn/     snobisme
/sk/     skala, skema, skandal
Jika tiga konsonan berderet dalam suku kata, maka konsonan yang pertama /s/, yang kedua /t/ atau /p/, dan yang ketiga /r/ atau /l/
Contoh :
/str/     strategi, struktur, instruksi
/spr/    sprei
/skr/    skripsi, manuskrip
/skl/    sklerosis
Seperti halnya dengan sistem vokal yang mempunyai diftong dan deretan vokal yang biasa, sistem konsonan yang biasa disamping gugus konsonanseperti yang telah digambarkan di atas. Deretan dua konsonan yang biasa dalan bahasa Indonesia adalah sebagai berikut
/mp/    empat, pimpin, tampuk
/mb/    ambil, gambar, ambang
/nt/     untuk, ganti, pintu
/nd/    indah, pendek, pandang
/nc/     lancar, kunci, kencing
/nj/      janji, banjir, panjang
/ŋk/     engkau, mungkin, bungkuk
/ŋg/     angguk, tinggi, tanggung
/ns/     insaf, insang
/ŋs/     bangsa, angsa, mangsa
/rb/     kerbau, korban, terbang
/rd/     merdeka, merdu, kerdil
/rg/     harga, pergi, sorga
/rj/      kerja, terjang, sarjana
/rm/    permata, cermin, derma
/rn/     warna, purnama, ternak
/rl/      perlu, kerling, kerlip
/rt/      arti, serta, harta
/rk/     terka, perkara, murka
/rs/      bersih, kursi, gersang
/rc/      percaya, karcis, percik
/st/      isteri, pasti, kusta, dusta
/sl/      asli, tuslah, beslit, beslah
/kt/     waktu, dokter, bukti
/ks/     paksa, laksana,seksama
/?d/     takdir
/?n/     laknat, makna, yakni
/?l/      takluk, maklum,taklim
/?r/      makruf, takrif
/?y/     rakyat
/?w/    dakwa, takwa, dakwah
/pt/     sapta, optik, baptis
/ht/     sejahtera, tahta, bahtera
/hk/     bahkan
/hs/     dahsyat
/hb/     sahbandar, tahbis
/hl/      ahli, mahligai, tahlil
/hy/     sembahyang
/hw/    bahwa, syahwat
/sh/     mashur
/mr/    jamrut
/ml/     jumlah, imla
/lm/     ilmu, gulma,palma
/gn/     signal, kognitif
/np/     tanpa
/rh/     gerhana
/sb/     asbak, asbes, tasbih
/sp/     puspa, puspita, aspira, aspal
/sm/    basmi, asmi, resmi
/km/    sukma
/ls/      palsu, pulsa, filsafat, balsem
/lj/       salju, aljabar
/lt/      sultan, salto, simultan
/bd/    sabda, abdi
/gm/    magma, dogma
/hd/    syahdan, syahdu
Dari pola suku kata dan deretan konsonan di atas dapat disimpulkan bahwa jejeran konsonan yang berada diluar kedua kelompok ini akan terasa asing di telinga kita dan akan terucapkan dengan agak tersendat – sendat. Kata seperti kafka dan atdun kelihatan dan terdengar aneh bagi kita, karena deretan konsonan /fk/ dan /td/ tidak terdapat dalam pola urutan konsonan bahasa kita meskipun konsonan /f/, /k/, /t/, dan /d/ masing – masing merupakan fonem bahasa Indonesia.








PERUBAHAN FONEM
(Pertemuan 14 dan 15)

1.Asimilasi
Asimilasi dalam pengertian biasa berarti penyamaan. Dalam Ilmu Bahasa asimilasi berarti proses dimana dua bunyi yang tidak sama disamakan atau dijadikan hampir bersamaan. Asimilasi dapat dibagi berdasarkan beberapa segi, yaitu berdasarkan tempat dari fonem yang diasimilasikan dan berdasarkan sifat asimilasi itu sendiri.
A.    Berdasarkan tempat dari fonem yang diasimilasikan kita dapat membagi asimilasi atas:
1.      Asimilasi progresif: bila bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan. Contoh dalam bahasa Indonesia sejauh ini belum dapat kami temukan. Tetapi untuk memperjelas proses ini dapat diambil suatu contoh asing:
Latin Kuno: Colnis > Latin: Collis
Dalam contoh di atas fonem /n/ diasimilasikan dengan fonem /l/ yang mendahuluinya
2.      Asimilasi regresif: bila bunyi yang diasimilasikan mendahului bunyi yang mengasimilasikan, misalnya:
Al salām (Arab)           - assalām          > asalam
In + perfect                 - imperfect       > imperfek
Ad + similatio             - assimilasi       > asimilasi
In + moral                   - immoral         > imoral, dan lain - lain
B.     Berdasarkan sifat asimilasi itu sendiri, kita dapat membedakan asimilasi atas:
1.      Asimilasi total: Bila dua fonem yang disamakan itu, dijadikan serupa betul:
Al salām (Arab)           - assalām          > asalam
Ad + similatio             - assimilasi       > asimilasi
In + moral                   - immoral         > imoral
2.      Asimilasi parsial: Bila kedua fonem yang disamakan itu, hanya disamakan sebagian saja, misalnya:
In + perfect                 - imperfect       > imperfek
In + port                      - import           > impor, dan lain – lain
Dalam hal ini nasal apiko – alveolar dijadikan nasal bilabial, sesuai dengan fonem /p/ yang bilabial, tetapi masih berbeda karena yang satu adalah nasal sedangkan yang lain adalah konsonan hambat.
Untuk menambah penambahan tentang perubahan fonem terutama asimilasi demikian akan dijelaskan mengenai asimilasi fonemis.
Asimilasi fonemis
Berbeda dari asimilasi fonetis, asimilasi “fonemis” menyebabkan suatu fonem menjadi fonem yang lain. Sebagai contoh analisalah kalimat Belanda Ik eet vis”saya makan ikan”. Fonem /v/ dari kata vis diubah menjadi fonem yang lain, yaitu /f/, akibat pengaruh fonem /t/ pada akhir kata eet; fonem /t/ tersebut yang tak bersuara menyebabkan fonem /v/ yang berikutnya menjadi tak bersuara pula; /f/ jadi betul – betul asimilasi, dan memang suatu asimilasi yang menyebabkan perubahan fonem: asimilasi fonemis.
Supaya kita dapat menyatakan dengan benar bahwa suatu fonem /v/ menjadi fonem /f/ (akibat adanya /t/ di depannya), maka perlu kita yakin bahwa “seharusnya” ada /v/ dalam kata vis (artinya, jangan kita dasarkan pernyataan ini pada adanya pada huruf “ v” dalam ejaan “vis” saja). Dalam contoh lain hal ini tidak sulit:
Kata vis memang selalu dilafalkan dengan bunyi /v/ yang bersuara bila tidak ada suatu bunyi yang tak bersuara di depannya, dan juga ada cukup banyak pasangan minimal dalam bahasa Belanda dimana (f) dan (v) terbukti merupakan fonem yang berbeda, yaitu masing – masing /f/ dan /v/.
Perbedaan antara asimilasi fonetis dan asimilasi fonemis dapat digarap dengan lebih jelas dengan diagram yang berikut:





Bidang Fonologi
 





Bidang fonetik Asimilasi fonetis 

Di  sini  tampak bahwa suatu tataran yang lebih rendah untuk sebagian sudah mengandalkan sistematik dari tataran yang lebih tinggi yang berikutnya. Misalnya asimilasi fonetis termasuk fonetik sebagai asimilasi dan termasuk fonologi sebagai variasi di dalam batas fonem yang sama.
Beberapa jenis asimilasi fonemis
Kita mengenal beberapa jenis asimilasi fonemis, yakni asimilasi progresif ( progressive assimilation ), asimilasi reegresif ( regressive assimilation ), dan dapat asimilasi resiprokal (resiprocal assimilation). Sebagai contoh asimilasi progresif dapat kita ambil berubahnya /v/ dari kata vis dalam kalimat Belanda Ik eet vis. (= kelompok kata) op de weg ‘di jalan’ (de adalah kata sandang), dimana /p/ dari kata op, akibat pengaruh /d/ yang bersuara dalam kata de, menjadi bunyi bersuara pula, yaitu /b/. Asimilasi resiprokal adalah akibat saling pengaruh antara dua fonem yang berurutan, yangmenyebabkan kedua fonem menjadi fonem yang lain dari semula. Di sini ada suatu contoh dari bahasa Batak Toba: kata bereng/ beren/ “lihat”, apabila diikuti oleh kata hamu/’kamu’, maka dari /n/ dan /h/ itu terjadi lah fonem /k/, sehingga kita proleh /berekamu/’ lihatlah(oleh kamu)’. Sebetulnya /k/ itu diperpanjang sebagai realisasi dua fonem /k/, jadi secara fonetis berupa geminat (kebetulan dalam bahasa Batak Toba tak ada fonem geminat).

Asimilasi fonemis dalam beberapa bahasa
Terjadi tidaknya pelbagai jenis asimilasi fonemis tergantung dari struktur bahasa masing – masing. Sedangkan asimilasi fonetis sangat umum dalam bahasa di dunia (tetapi dengan kaidah khas untuk masing – masing bahasa), namun asimilasi fonemis sangat berbeda antara bahasa – bahasa. Umpamanya asimilasi resiprokal seperti dalam bahasa bahasa Batak Toba agak jarang kita jumpai; asimilasi progresif dan regresifpun sangat biasa dalam bahasa Belanda, sedangkan dalam bahas Jerman asimilasi progresif sangat umum, tetapi asimilasi regresif hampir tidak ada. Sesuatu khusus dalam bahasa Inggris ialah bahwa asimilasi fonemis dari jenis manapun hampir tidak ada.Oleh karena pentingnya bahasa Inggris, mari kita uraikan beberapa hal tentang asimilasi dalam bahasa tersebut.
Dalam frase it is dan it has, kala dikontraksikan (lihat pas. (9) (a), di bawah), fonem /z/ dari is (atau dari has) berubah menjadi /s/ dan memang oleh karena pengaruh fonem tak bersuara itu, yakni /t/ dari kata it: hasilnya (dalam kedua – duanya hal) /its/ (ejaannya it’s, misalnya It’s good: it’s been done ). Sebagai contoh lain perhatikan kata vokal dari news diperpendek, jadi “u;” diubah menjadi /u/; juga (dan ini menyangkut masalah asimilasi di sini) /z/, yang seharusnya diucapkan dalam kata news bila terdapat sendiri, berubah menjadi /s/, akibat pengaruh /p/ yang berikutnya yang tak bersuara itu.
Contoh – contoh tersebut merupakan kekecualian satu – satunya pada kaidah bahwadalam bahasa Inggris tidak ada asimilasi fonemis. Memang beberapa buku pegangan bahasa Inggrismenyebutkan beberapa kekecualian lagi, yakni : blakguard / blægərd/ ‘penjahat’, cupboard / kubərd/ ‘almari’, raspberry / ra:bəri /’prambos’, dan gooseberry / guzbəri/ ‘buah talok’.
Bagamanakah penilaian mengenai keempat contoh ini?
Seperti sah dinyatakan asimilasi fonemis dapat terjadi hanya pada batas morfem bebas; termasuk dalam hal ini juga kata majemuk ( keempat kata tadi kata majemuk kelihatannya). Kecuali dalam bahasa Inggris, misalnya: kata blackboard tidak memperlihatkan asimilasi di antara black dan board: /k/ dari black tidak menjadi /g/ akibat kebersuaraan /b/ yang berikutnya, dan /b/ tersebut tidak menjadi /p/ akibat ketakbersuaraan /k/ yang mendahuluinya. Lalu blackguard, cupboard, rasberry,gooeseberry? Kata –kata itu bukan kata majemuk jadi tidak ada batas morfem. Memang kata – kata tersebut dulu pernah merupakan kata majemuk, tetapi analisa diakronis semacam itu tidak boleh mempengaruhi analisa sinkronis sekarang.
.
2.Desimilasi
            Seperti halnya asimilasi menyebabkan penyamaan dua fonem fonem yang berbeda, maka apa yang disebut “desimilasi” menyebabkan dua fonem yang sama (berdekatan atau tidak) menjadi fonem yang lain.
Contoh Indonesia adalah belajar, yang dihasilkan dari menggabungkan awalan ber- dan ajar. Akan tetapi bentuk belajar mempunyai dua /r/, dan dalam bahasa Indonesia ada kecenderungan untuk menghindari dua /r/ dalam kata yang berawalan ber-, yang /r/-nya mengasimilasikan dengan /r/ dari ajar menjadi tak sama dengannya yaitu /l/.
Contoh belajar adalah kasus desimilasi sinkronik. Secara diakronik ada kasus – kasus disimilasi juga.Contohnya ialah kata – kata Indonesia cinta dan cipta kedua kata itu berasal dari bahasa Sansekerta citta, jadi /tt/-nya menjadi /pt/untuk cipta dan /nt/ untuk cinta. Contoh lain terdapat dalam kata langsir, yang dulu pernah dipungut dari bahasa Belanda ( rengeren ) : karena ada dua /r/ dalam kata Belanda itu, /r/ yang pertama, dalam proses pemungutan, secara disimilatif diubah menjadi /l/, yaitu r-r menjadi r-t.
Bila disimilasi terjadi karena sebuah bunyi berubah untuk menyesuaikan diri dengan bunyi lain, maka “disimilasi” terjadi bila dua bunyi yang sama karena berdekatan letaknya ( entah kontigu entah disgret) berubah menjadi tidak sama.
Kalau dalam asimilasi fonem mengalami perubahan mendekati fonem lingkungannya, maka disimilasi fonem tersebut seakan – akan menjauhi persamaan dengan fonem sekitarnya.
Dengan kata lain terjadi pelainan bunyi demi kepentingan kelancaran ucapan. Proses ber  + ajar → belajar menunjukkan pelainan itu. Bunyi /r/ yang berdekatan cenderung untuk menjadi tidak sama. Bentuk pinjaman corner (tendangan sudut dalam sepak bola) menjadi kornel, emmer→ember, dan sajjana→sarjana.

FONEM SUPRASEGMENTAL
(Pertemuan Ke-16)

Fonem yang berwujud bunyi yang membedakan arti seperti fonem /k/ dan /d/ dalam pasangan minimal [kuda]- [duda] disebut sebagai fonem segmental [fonem primer], karena bunyi tetapi sebagai segmen terkecil. Fonem dapat pula tidak berwujud bunyi tetapi sebagai tambahan terhadap bunyi. Tambahan tersebut berupa tekanan, durasi, dan nada, yang lazim disebut sebagai ciri suprasegmental.
Fonem suprasegmental memiliki ciri – ciri suprasegmental yang mengakibatkan perubahan arti. Tekanan, durasi, titinada, dan aksen distingtif atau bersifat fonemis merupakan ciri – cirinya. Ciri ini tidak terdapat dalam bahasa Indonesia tetapi, dalam bahasa Inggris , Rusia, Belanda, Sansekerta, China, dan sebagainya. Bukan berarti ciri Suprasegmental tidak ada dalam bahasa Indonesia, hanya yang membedakan arti saja.
Fonem suprasegmental memiliki ciri – ciri suprasegmental yang bersifat fonemis atau dapat meembedakan arti.
Orang yang berbicara akan terdengar bergelombang, ada suku kata tertentu pada suatu kata tertentu mendapat penekanan yang lebih nyaring dari yang lain, bunyi tertentu terdengar lebih panjang dan vokal pada suatu suku kata tertentu  terdengar lebih tinggi dari vokal pada suku kata yang lain atau dengan kata lain tercipta intonasi, yaitu kerja sama antara durasi, tekanan, nada, aksen yang menyertai suatu tutur dari awal hingga perhentian akhir. Hal ini dipengaruhi adanya ciri suprasegmental yang pada keadaan tertentu  dapat mengakibatkan perubahan arti, yaitu tekanan, durasi, nada, dan aksen yang bersifat fonemis, yang dalam sistem tulisan dinyatakan dengan tanda dikritis yang diletakkan di atas lambang bunyi (unsur segmen).
1.      Tekanan
Tekanan adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai oleh keras lembutnya arus ujaran. Arus ujaran yang lebih keras atau yang lebih lembut ditentukan oleh amplitudo getaran, yang dihasilkan oleh tenaga yang lebih kuat atau lebih lemah. Tekanan yang bersifat fonemis yaitu tekanan keras pada suatu bagian (segmen) dari kata dipindah ke bagian lain dari bagian tersebut dan membedakan arti.
Inggris           : réfuse = sampah
                         refúse = menolak
Belanda : dóorlopen = berjalan terus
                 doorlópen = menjalani, menempatkan
Batak Toba : bóntar = putih
                      bontár = darah
2.      Jangka / Durasi
Durasi adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai oleh panjang pendeknya waktu yang diperlukan untuk mengucapkan sebuah segmen yang dapat membedakan arti bila bersifat fonemis atau ( durasi distingtif).
Beberapa bahasa yang memiliki duratif distingtif misalnya bahasa Sansekerta. Durasi ini dalam bidang kata biasanya dinyatakan adanya vokal pendek dan vokal panjang dalam bahasa itu.
Sansekerta : bhara : yang mengandung
                     bhaara : muatan
Bahasa Irian Jaya : syo : ketapang
                                syoo : menjemur
3.      Nada ( pitch)
Nada adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai tinggi – rendahnya arus ujaran. Tinggi rendah ini terjadi karena frekuensi getaran yang berbeda antar segmen. Bila seseorang sedang sedih, ia berbicara dengan nada rendah atau sebaliknya. Suatu perintah atau pertanyaan selalu disertai dengan nada yang khas. Nada dalam bahasa Indonesia tidak bersifat distingtif hanya menciptakan perbedaan suasana. Misal kata bang-sat bila segmen pertama lebih tinggi dari segmen sesudahnya, maka suasana kekecewaan atau kemaran akan tercipta, bila sebaliknya suasananya adalah suasana berkelakar dengan sesama teman. Nada yang bersifat distingif / fonemis, misalnya :
 


China : ma : guni, ma : kuda , ma : maki, ma : -kah
            kau : kutu busuk, kau : kera, kau : tiba, kau : anjing, kau : tebal
            wei : kutu kayu, wei : berbahaya, wei : takut, wei : menjawab serta – merta

4.      Aksen
Aksen terbentuk dari faktor tekanan atau nada, sehingga terdapat  dua aksen yaitu aksen tekanan dan aksen nada. Aksen telah dikenal oleh ahli bahasa sebagai pembeda makna, misal :

Inggris :  ̀import : barang impor
                im  ̀port :mengimpor
Batak Toba : ̀tutu : batu gilasan
                      tùtu : benar
Tagalog : kaibi ̀gan : kedinginan
                kai ̀bigan : teman




MEDIA PEMBELAJARAN
1. Pengertian Fonologi
a. Secara Harfiah
Fonologi berasal dari kata fon berarti bunyi dan logos berarti ilmu.
b.Menurut Aliran Praha atau Eropa
Fonologi sama dengan fonemik,
c. Menurut Aliran Amerika
Fonologi mencakup dua bidang, yaitu fonetik dan fonemik.
Manfaat Fonologi
            Penyelidikan bunyi-bunyi bahasa suatu bahasa mempunyai fungsi yang besar dalam hal menciptakan tanda-tanda/lambang-lambang yang menyatakan bunyi ujaran. Lambang-lambang bunyi ujaran itu disebut huruf, sedangkan aturan penulisan huruf itu disebut ejaan.
            Munculnya ejaan jelas merupakan usaha yang memiliki manfaat besar,terutama untuk menyimpan informasi. Kalau ejaan dapat diterapkan sesuai dengan bunyi ujaran, tentunya, informasi yang diabadikan lewat tulisan itu juga akan lebih komunikatif. Namun, harus disadari bahwa tidak pernah ada sistem tulisan yang sempurna.
            Dalam penggunaan secara praktis, bunyi-bunyi bahasa yang beragam itu akan sulit digambarkan. Andaikan dapat menghafalkannya (dalam usaha menggunakan bahasa tulis) bukanlah pekerjaan yang gampang, apalagi jika bunyi-bunyi itu mirip. Karena itu, hasil penyelidikan fonemiklah yang seharusnya dijadikan dasar pembentukan sistem tulisan. Dasar yang harus digunakan di sini adalah sebuah fonem dilambangkan dengan satu huruf/tanda/lambing/grafem. Sistem tulisan (ejaan) yang demikian ini disebut ejaan fonemis. Dengan kata lain, ejaan fonemis ini menganut sistem monograf.
            Di samping itu, fonem /ә/ dan /è/ yang terbukti sebagai fonem-fonem yang berbeda dilambangkan dengan huruf yang sama, yakni (è). Telah terbukti pula bahwa antara /?/ (apostrof) /bisat ( ‘ ) dengan /k/ terdapat perbedaan yang fungsional, tetapi kenyataannya keduanya dilambangkan dengan huruf yang berbeda, yakni (k) atau ( ‘ ) tetapi ada perbedaan dalam pengucapannya. Satu grafem/huruf yang melambangkan dua fonem yang berbeda ini dikenal dengan istilah diafon.

2.Fonetik
Fonetik adalah menyelidiki bunyi bahasa tanpa memperhatikan fungsinya sebagai pembeda arti (kajian asal mula).
Tiga jenis fonetik:
d.    Fonetik Akustis, menyelidiki bunyi bahasa menurut aspek-aspek fisiknya sebagai getaran udara..
e.    Fonetik Auditoris, adalah penyelidikan mengenai cara penerimaan bunyi-bunyi bahasa oleh telinga..
f.       Fonetik Organis, fonetik organis menyelidiki bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan dengan alat-alat (atau organ bicara/organs of speach).
ARTIKULASI













BUNYI BAHASA


Syarat terjadinya bunyi bahasa:
a. Adanya udara sebagai energi
b. Aartikulasi.
c. Adanya hambatan


Proses terjadinya bunyi bahasa:
a. Mengalirnya udara dari paru-paru
b. Proses  fonasi
c. Proses  artikulasi
d. Proses oral nasal










KONSONAN


 Konsonan dapat diklasifikasikan berdasarkan:
i.       Cara artikulasi                                      c.  Bergetar tidaknya pita suara
j.       Titik arrtikulasi                                       d. Saluran (rongga) yang dilalui udara

E.     Jenis-jenis Konsonan Berdasarkan Cara Artikulasi
(i)    Bunyi letupan (plosives, stops),
(ii) Bunyi kontinuan (continuante).
(iii)                 Bunyi Sengau (nasal
(iv)                 Bunyi Sampingan (laterals),
(v)  Bunyi Paduan (afrikat), 
(vi)                 Bunyi Geseran atau frikatif (fricatives)
(vii)   Bunyi Geletar (trillis)
(viii)Bunyi kembar atau geminal (geminates).

F.     Jenis-jenis Konsonan Berdasarkan Tempat Artikulasi
1.  Konsonan Bilabial                                    7.  Konsonan Medio Palatal
2.  Konsonan Labio Dental                            8.  Konsonan Dorso Velar,
  3.  Konsonan Apiko Dental                          9.  Konsonan Uvular,
4.  Konsonan Apiko Alveolar,                      10. Konsonan Faringal
5.  Konsonan Apiko Palatal,                        11. Konsonan Hamzah
6.  Konsonan Lamino Palatal,                     
                                                                       
VOKAL


Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan getaran pita suara dan tanpa penyempitan (hambatan) dalam saluaran suara di atas glotis.


Lima jenis pengolongan vocal:
(i)  Menurut posisi lidah yang membentuk ruang resonansi
(ii)                 Menurut posisi tinggi rendahnya lidah,
(iii)              Menurut peranan bibir,
(iv)               Menurut lamanya pengucapan
(v)                  Menurut peranan rongga hidung







SEMI VOKAL DAN DIFTONG


Semi- Vokal
a.    Semi vokal adalah bunyi bahasa yang memiliki ciri vokal maupun konsonan, mempunyaai sedikit geseran, dan tidak muncul sebagai inti suku kata.
b.    Kwalitas semi vokal ditentukan tidak hanya oleh tempat artikulasi tetapi oleh juga bangun mulut atau sikap mulut.
c.     Semi vocal: bilabial, labio-dental, dan apiko-palatal

Diftong
a.    Diftong adalah dua vokal yang berurutan yang diucapkan dalam satu hembusan nafas (atau denyutan nafas), pada waktu pengucapannya ditandai oleh perubahan gerak lidah, dan yang berfungsi sebagai inti suku kata.
b.    Diftong-diftong sering dibedakan menurut perbeedaan tinggi rendahnya dari unsur-unsurnya, yaitu antara diftong yang naik (rising dipthongs) dan diftong yang turun (falling dipthongs).
c.     Wujud diftong bahasa Indonesia: ai, au, ou, dan ei.

FONEMIK

a. Pengertian Fonemik
1. Menurut Verhaar, fonemik adalah bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu menurut fungsinya untuk membedakan leksikal dalam bahasa.
2. Menurut Harimurti Kridalaksana, fonemik adalah penyelidikan mengenai sistem fonem dan prosedur untuk menenentukan fonem suatu bahasa.

b. Fonemik dan Fonetik
Persamaan Fonetik dan Fonemik adalah:
1.Fonetik dan fonemik merupakan cabang ilmu bunyi.
2.Objek yang diselidiki fonetik dan fonemik adalah bunyi bahasa.

c. Fonem dan Grafem
Fonem adalah satuan terkecil dari ciri-ciri bunyi bahasa yang membedakan arti. Fonem harus dibedakan dari grafem. Fonem merujuk ke bunyi bahasa, sedangkan grafem adalah pelambang fonem yang berbentuk huruf.
CARA MENENTUKAN FONEM

1. Pasangan minimal dan beban fungsional
Pasangan minimal: seperangkat kata yang sama kecuali dalam hal satu bunyi saja.
Misalnya “lupa” dan “rupa”
 2. Penafsiran ekafonem dan penafsiran dwifonem
Bridge pada kata Inggris bridge sebagai satu fonem (afrikat) atau dua fonem (masing-masing letupan dan frikatif). Kedua macam penafsiran dalam fonologi masing-masing disebut penafsiran ekafonem (monophonematic interpretation) dan penafsiran dwifonem (biphonematic interpretation.
3.    Dengan memperhatikan variasi alotonemis
Alofon adalah wujud sama seperti variasi bunyi.
Contoh bunyi /i/ punya variasi /i/ dan /I/
Alofon = variasi fonem.
Fonem merupakan suatu wujud yang agak abstrak karena secara konkrit kita selalu mengucapkan salah satu anggota dari fonem yang bersangkutan.
LANGKAH-LANGKAH MENENTUKAN FONEM

Pertama    : catatlah bunyi – bunyi yang secara fonetis sama       
                   atau mirip.
Kedua       : catatlah bunyi – bunyi yang selebihnya.
Ketiga       : dengan kasar kontras, karena lingkungan yang sama atau yang mirip itu sebagai  fonem – fonem yang berlainan.
Keempat  : dengan dasar linkungan yang komplementer anggaplah bunyi – bunyi yang      fonetis mirip itu sebagai fonem yang sama.
Kelima      : anggaplah semua bunyi – bunyi yang terdapat pada hal “kedua” sebagai fonem – fonem tersendiri.
Keenam    : untuk bunyi – bunyi prosodi diberlakukan carayang sama untuk menguraikannya.




SUKU KATA

Suku kata adalah bagian dari kata yang diucapkan satu hembusan napas dan umumnya terdiri atas beeberapa fonem.

Betapapun panjangnya suatu kata, wujud suku yang membentuknya mempunyai struktur dan kaidah pembentukan yang
V → a-mal, su-a-tu,tu-
V K →ar-ti, ber-il-mu, ka-il
KV→ pa-sar, sar-ja-na, war-ga
KVK→ pak-sa, ke-per-lu-an, pe-san
KKV→slo-gan, pen-dra-ma-an, ko-pra
KKVK→trak-tor, a-trak-si, kon-trak
KVKK→teks-til, kon-teks-tu-al, kon-trak
KKKV→stra-te-gi, stra-ta
KKKVK→struk-tur, in-struk-si,strom
KKVKK→kom-pleks
KVKKK→korps
/

ASIMILASI

C.   Berdasarkan tempat dari fonem yang diasimilasikan kita dapat membagi asimilasi atas:
3.     Asimilasi progresif: bila bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan. Latin Kuno: Colnis > Latin: Collis
4.     Asimilasi regresif: bila bunyi yang diasimilasikan mendahului bunyi yang mengasimilasikan, misalnya:Al salām (Arab)   - assalām    > asalam
D.   Berdasarkan sifat asimilasi itu sendiri, kita dapat membedakan asimilasi atas:
4.     Asimilasi total: Bila dua fonem yang disamakan itu, dijadikan serupa betul:
Al salām (Arab)  - assalām    > asalam
5.     Asimilasi parsial: Bila kedua fonem yang disamakan itu, hanya disamakan sebagian saja, misalnya:In + perfect                  - imperfect  > imperfek
 



Bidang Fonologi
 





Bidang fonetik Asimilasi fonetis


Previous
Next Post »